Senin, 08 Maret 2010

LKS di Indonesia

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
Oleh Yadi Janwari

A. Pendahuluan
Secara ril, wacana ekonomi Syariah di Indonesia muncul pada awal tahun 1990-an seiring dengan motivasi yang kuat umat Islam untuk mendirikan bank Syariah. Pada dekade ini, diskursus tentang ekonomi Syariah dan upaya mewujudkannya mulai tampak. Diskursus dan upaya implementasi ekonomi Syariah pada saat ini lebih difokuskan pada institusi perbankan Syariah, karena persoalan perbankan Syariah tengah menjadi focus of interest dunia Islam, termasuk Indonesia (Wouters, 2008: 2). Walaupun demikian, Islamic economic content tetap menjadi bahasan; sebab, bagaimanapun perbankan Syariah merupakan bagian integral dari ekonomi Syariah.
Kehadiran institusi perbankan Syariah ini, bagaimanapun, dapat dipandang sebagai langkah awal yang strategis bagi perkembangan institusi ekonomi Syariah berikutnya, sebab setelah itu semakin bermunculan institusi-institusi ekonomi yang berbasis Syariah (Wouters, 2008: 4). Pada saat yang hampir bersamaan dengan perbankan Syariah, berdiri pula beberapa Baitul Mal wa Tamwil dan kemudian pada tahun 1994 berdiri pula institusi asuransi Syariah. Belakangan didirikan pula beberapa institusi keuangan Syariah lainnya, seperti Unit Simpan Syariah, Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren), dan Reksadana Syariah.
Deskripsi itu menunjukkan bahwa institusionalisasi ekonomi Syariah di Indonesia telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Namun belakangan, institusi ekonomi Syariah ini lebih terfokus pada lembaga-lembaga keuangan Syariah. Hal ini menunjukkan adanya fenomena ekonomi yang menarik, di mana institusionalisasi ekonomi Syariah lebih terlembagakan dalam bentuk lembaga keuangan Syariah (Kahf, 2002: 1). Bahkan, belakangan muncul asumsi bahwa pembicaraan ekonomi Syariah lebih identik dengan lembaga keuangan Syariah, khususnya perbankan Syariah.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa institusionalisi ekonomi Syariah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan. Namun, institusionalisasi tersebut lebih terfokus pada institusi keuangan semata, tanpa dibarengi dengan perkembangan institusi ekonomi Syariah lainnya. Sehubungan dengan itu, masalah utama dalam makalah ini adalah proses pembentukan institusi lembaga-lembaga keuangan Syariah.

B. Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga keuangan Syariah ini merupakan suatu badan usaha atau institusi yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset-aset keuangan (financial assets) maupun non-financial assets atau aset riil berlandaskan konsep Syariah. Lembaga keuangan Syariah ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lembaga keuangan depositori Syariah (depository financial institution Syariah) yang disebut dengan lembaga keuangan bank Syariah dan lembaga keuangan Syariah non depository (non depository financial institution Syariah) yang disebut dengan lembaga keuangan Syariah bukan bank (Karsten, 1982: 108-148).
Lembaga keuangan Syariah bukan bank itu sendiri dapat dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu lembaga kontraktual (Syariah contractual institutions), lembaga keuangan investasi Syariah (Syariah investment institution), dan lembaga keuangan yang tidak termasuk ke dalam Syariah contractual institutions dan Syariah investment institution. Lembaga kontraktual (contractual institutions) adalah lembaga keuangan yang menarik dana dari masyarakat dengan menawarkan dana untuk memproteksi penabung terhadap resiko ketidakpastian, misalnya perusahaan asuransi Syariah dan dana pensiun Syariah. Lembaga keuangan investasi Syariah (Syariah investment institution) adalah lembaga keuangan Syariah yang kegiatannya melakukan investasi di pasar uang Syariah dan pasar modal Syariah, misalnya reksadana Syariah. Sedangkan yang termasuk ke dalam lembaga keuangan yang tidak termasuk ke dalam contractual institutions dan Syariah investment institution adalah pegadaian Syariah, Baitul Mal wat Tamwil, Unit Simpan Pinjam Syariah, koperasi pesantren, perusahaan modal ventura Syariah (venture capital), dan perusahaan pembiayaan Syariah (Syariah finance company) yang menawarkan jasa sewa guna usaha (leasing), kartu kredit, pembiayaan konsumen, dan anjak piutang (Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, 2008: 6).
Lembaga keuangan dalam dunia keuangan bertindak selaku lembaga yang menyediakan jasa keuangan bagi nasabahnya, dimana pada umumnya lembaga ini diatur oleh regulasi keuangan dari pemerintah. Bentuk umum dari lembaga keuangan ini adalah termasuk perbankan, building society (sejenis koperasi di Inggris), credit union, pialang saham, aset manajemen, modal ventura, koperasi, asuransi, dana pensiun dan bisnis serupa. Dengan demikian, signifikansi lembaga keuangan adalah penyedia jasa sebagai perantara antara pemilik modal dan pasar utang yang bertanggung jawab dalam penyaluran dana dari investor kepada perusahaan yang membutuhkan dana tersebut (Behrens, 1995: vi).
Dengan kata lain, lembaga keuangan Syariah berfungsi untuk memperlancar mekanisme ekonomi di sektor ril melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip Syariah. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara lembaga keuangan Syariah dengan nasabah untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai Syariah yang bersifat makro maupun mikro (Ascarya, 2007: 30).
Kehadiran lembaga keuangan inilah yang memfasilitasi arus peredaran uang dalam perekonomian, di mana uang dari individu investor dikumpulkan dalam bentuk tabungan sehingga risiko dari para investor ini beralih pada lembaga keuangan yang kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pinjaman utang kepada yang membutuhkan. Ini merupakan tujuan utama dari lembaga penyimpan dana untuk menghasilkan pendapatan. Dengan demikian, lembaga keuangan berfungsi sebagai perantara keuangan (financial intermediation), yakni proses penyaluran dana yang surplus (lender-savers) dari unit ekonomi untuk disalurkan kepada yang defisit dana (borrower-spenders) dari unit ekonomi lain.
Peran intermediasi lembaga keuangan Syariah dilakukan dengan cara membeli sekuritas primer (saham Syariah, obligasi Syariah, dan yang lainnya) yang diterbitkan oleh unit defisit, dan dalam waktu yang sama lembaga keuangan mengeluarkan sekuritas sekunder (giro wadi`ah, tabungan wadi`ah, mudharabah, deposito berjangka mudharabah, reksadana Syariah, dan yang lainnya) kepada unit surplus (Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, 2008: 8-9).
Sebagai lembaga intermediasi, lembaga keuangan Syariah memiliki peran strategis, antara lain, sebagai berikut:
1. Pengalihan aset (asset transmutation), yaitu lembaga keuangan Syariah memberikan pinjaman kepada pihak yang membutuhkan dalam dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Pengalihan aset ini dapat pula dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah dalam bentuk menerbitkan sekuritas sekunder yang diterbitkan oleh unit defisit.
2. Likuiditas (liqidity), yaitu kemampuan lembaga keuangan Syariah dalam memperoleh uang tunai pada saat yang dibutuhkan.
3. Relokasi pendapatan (income rellocation), yaitu peran lembaga keuangan Syariah dalam merelokasikan pendapatan nasabah untuk persiapan menghadapi waktu yang akan datang.
4. Transaksi (transaction), yaitu lembaga keuangan Syariah memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang dan jasa.
5. Efisiensi (efficiency), yaitu lembaga keuangan Syariah dapat menurunkan biaya transaksi dengan jangkauan pelayanan dan juga memperlancar serta mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan.
Selain signifikansi lembaga keuangan Syariah secara umum di atas, masing-masing jenis lembaga keuangan Syariah memiliki signifikansi dan fungsi yang spesifik. Bank Syariah memiliki signifikansi dan fungsi yang khas, yang berbeda dengan lembaga keuangan Syariah lain. Demikian pula dengan Baitul Mal wat Tamwil memiliki signifikansi dan fungsi yang khas, yang berbeda dengan lembaga keuangan Syariah lain. Demikian seterusnya, di mana jenis lembaga keuangan Syariah memiliki signifikansi dan fungsi yang khas, yang berbeda dengan lembaga keuangan Syariah yang lainnya.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan adalah institusi yang kegiatan utamanya mengumpulkan dana dari masyarakat (nasabah) dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat (nasabah). Bila dibuatkan bagan, maka dapat dilihat pada gambar berikut:








Dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa fungsi utama lembaga keuangan adalah sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang kelebihan dana (lender-savers) dengan pihak yang kekuarangan dana (borrower-spenders).

C. Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
Di Indonesia, secara ril lembaga keuangan Syariah ini mulai berdiri dan tumbuh pada tahun 1990-an. Untuk pertama kalinya, lembaga keuangan Syariah yang muncul adalah institusi perbankan yang kemudian diikuti oleh institusi keuangan Syariah lainnya. Secara umum, lembaga keuangan Syariah yang muncul di Indonesia mengadopsi atau mengkonvergensi dengan institusi keuangan yang lebih dulu muncul di ekonomi konvensional. Bila di keuangan konvensional ditemukan institusi bank, asuransi, gadai, lembaga pembiayaan, reksa dana, dan obligasi, maka dalam keuangan Syariah kemudian muncul bank Syariah, asuransi Syariah, gadai Syariah, lembaga pembiayaan Syariah, reksa dana Syariah, dan obligasi Syariah.
Di Indonesia institutusionalisasi keuangan Syariah sudah muncul sejak awal tahun 1990-an. Kalau diruntut berdasarkan urutan waktu pendiriannmya, maka institusi keuangan Syariah yang pertama kali muncul adalah lembaga keuangan Perbankan, yang kemudian disusul oleh institusi-institusi keuangan Syariah non-bank lainnya, seperti Baitul Mal wa Tamwil, asuransi Syariah, Unit Simpan Pinjam Syariah, Reksadana Syariah, dan beberapa lembaga pengembang keuangan swadaya masyarakat lainnya.
Masing-masing perkembangan dari lembaga-lembaga keuangan Syariah itu dapat dirinci pada uraian berikut.
1. Perbankan Syariah
Pertama-tama institusi keuangan Syariah yang diimplementasikan oleh umat Islam Indonesia adalah institusi perbankan. Perbankan yang pertama kali didirikan adalah jenis Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi Bank Umum Syariah. Bank Perkreditan Syariah yang pertama kali didirikan adalah BPR Berkah Amal Sejahtera di Padalarang (Bandung), BPR Dana Mardhatilla di Kopo Sayati (Bandung), dan BPR Amanah Rabbaniah di Banjaran (Bandung) pada tahun 1991.
Pendirian BPRS ini telah menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini terbukti dengan semakin banyak BPRS didirikan oleh umat Islam. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang sangat pesat dalam mendirikan BPRS. Pada tahun yang hampir bersamaan, di Jawa Barat telah berdiri sekitar 11 BPRS, yakni BPRS Mentari di Garut, BPR Amanah Ummah di Leuwiliang Bogor, BPR Arta Sakinah di Cianjur, BPR Bina Amwalul Hasanah di Lima Bogor, BPR Artha Karimah di Tanggerang, BPR Intiraqqat di Ciputat, BPR Uswatun Hasanah di Bekasi, BPR Baiturridha di Cimindi, BPR Dana Tijarah di Cimahi, BPR Mukarramah di Lembang, dan BPR Babussalam di Majalaya. Setelah di Jawa Barat kemudian berdiri pula beberapa BPRS di propinsi lain, misalnya BPR Berkah Gema Dana di Banjarmasin, BPR Ikhwatul Ummah di Maros Ujung Pandang, dan BPR Hareukat di Lambaro Aceh.
Pendirian beberapa BPRS ini tampaknya merupakan langkah awal dalam upaya institusionalisasi keuangan Syariah di Indonesia. Perkembangan selanjutnya, institusi perbankan ini dikembangkan lebih lanjut dalam jenis Bank Umum. Masih pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 1 Nopember 1991, di Indonesia berdiri Bank Umum Syariah (BUS) yang pertama yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI). Bank umum BMI ini dapat dikatagorikan kepada Islamic Commercial Banking (ICB) karena BMI didirikan secara khusus menggunakan prinsip Syariah. Jenis ICB ini kemudian diikuti oleh Bank Syariah Mandiri (BSM) pada tahun 1999 dan Bank Syariah Mega Indonesia BSMI) pada tahun 2004.
Belakangan pendirian bank umum ini diikuti pula oleh beberapa bank konvensional, seperti BNI, BRI, dan BPD. Bank konvensional ini menjadikan bank umum Syariah sebagai salah satu unit usahanya. Oleh karena itu, jenis bank umum ini diistilahkan dengan Islamic Banking Unit (IBU), yakni bank umum konvensional yang membuka unit usaha Syariah. Unit usaha Syariah ini didirikan oleh bank umum konvensional sebagai unit usaha di Kantor Pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari seluruh Kantor Cabang Syariah. Hingga saat ini telah tercatat sebanyak 26 Islamic Banking Unit.
Pada saat yang bersamaan perkembangan perbankan Syariah pun tumbuh pada jenis Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Hingga saat ini tercatat telah ada 114 buah Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang tersebar di seluruh Indonesia. Secara kelembagaan keadaan perbankan Syariah di Indonesia itu dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1
Perkembangan Jumlah Kantor Bank Syariah Tahun 2002 – 2007

Tahun Kelompok Bank
BUS UUS BPRS Layanan Sy.
2002 2 6 83 -
2003 2 8 84 -
2004 3 15 88 -
2005 3 19 92 -
2006 3 20 105 456
2007 3 26 114 1.195
Sumber: Laporan Pengawasan Bank Indonesia 2007.
2. Baitul Mal wa Tamwil
Institusionalisasi Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di Indonesia hampir bersamaan pula dengan institusionalisasi perbankan Syariah. Hal ini mengingat fungsi awal BMT adalah untuk mengkafer berbagai potensi keuangan umat yang belum terberdayakan oleh institusi perbankan Syariah, terutama potensi keuangan umat yang berada di wilayah pedesaan atau komunitas umat tertentu. Oleh karena perbankan Syariah belum bisa mencakup pemberdayaan potensi keuangan umat secara keseluruhan, maka kehadiran BMT tetap menjadi signifikan.
Institusionalisasi BMT di Indonesia didasarkan pada undang-undang tentang Perbankan. Perujukan hukum kepada undang-undang perbankan ini mengingat prinsip operasional dan mekanisme kerja yang dikembangkan BMT tidak berbeda dengan yang digunakan oleh perbankan Syariah. Perbedaannya, bila perbankan Syariah dibangun di atas fondasi kapital yang besar dengan daya jangkau yang luas, sementara BMT dibangun di atas fondasi kapital yang sedikit dengan daya jangkau yang terbatas. Oleh karena itu, pendirian BMT banyak dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Pertumbuhan BMT di Indonesia tidak terlepas dari peranan Yayasan Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (YINBUK) dan Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK). Pada awal tahun 1990-an, institusi ini mencanangkan program Gerakan 1000 BMT. Sebagai implikasinya, maka di beberapa daerah banyak didirikan BMT. Di Jawa Barat saja misalnya, telah didirikan lebih dari 600 BMT yang tersebar di berbagai wilayah.
Namun ternyata perkembangan BMT tidak semulus perkembangan perbankan Syariah. Indikatornya, tidak sedikit BMT yang telah didirikan itu harus gulung tikar dan kemudian mati. Menurut Engkos Sadrah, BMT menjadi collapse karena di dalam tubuh BMT masih ditemukan banyak kelemahan. Di antara kelemahan yang telah diidentifikasi umumnya berkisar dalam sumber daya manusia, manajemen, fasilitas, servis, dan permodalan. Akibatnya dari kelemahan ini, kalaupun BMT itu tidak mati perkembangannya berjalan secara gradual. Oleh karena itu, eksistensi BMT kurang begitu dirasakan oleh masyarakat luas.
3. Asuransi Syariah
Gagasan dan pemikiran tentang institusionalisasi asuransi Syariah di Indonesia sebenarnya telah muncul sejak lama dan pemikiran tersebut lebih menguat pada saat diresmikannya operasi Bank Muamalat Indonesia tahun 1991. Pada mulanya gagasan awal institusionalisasi asuransi Syariah ini muncul dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa. Steakholders lain yang terlibat dalam mewujudkan institusionalisasi asuransi Syariah ini adalah PT Abdi Bangsa, PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Asuransi Tugu Mandiri.
Untuk mewujudkan gagasan institusionalisasi asuransi Syariah ini, maka pada tanggal 27 Juli 1993 ICMI bersama dengan PT Abdi Bangsa, PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Asuransi Tugu Mandiri mendirikan Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). TEPATI inilah yang kemudian menjadi perumus dan perealisir institusionalisasi asuransi Syariah di Indonesia. Sebagai implementasinya, maka pada 25 Agustus 1994 berdirilah Asuransi Takaful Indonesia dengan izin operasional dari Departemen Keuangan melalui Surat Keputusan Nomor: Kep-385/KMK.017/1994 tanggal 4 Agustus 1994.
Institusionalisasi asuransi Syariah ini dalam perjalanannya menunjukkan perkembangan yang signifikan. Hal ini antara lain dibuktikan dengan semakin menyebarnya cabang asuransi Syariah di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, respon umat Islam terhadap institusionalisasi asuransi Syariah ini pun sangat kondusif, terutama pada jenis asuransi keluarga. Menurut Purwanto Abdulcadir, prospek positif institusi asuransi Syariah ini disebabkan karena faktor indogenous dan faktor exogenous. Faktor indogenous berkait dengan kemakmuran, tingkat pendapatan, gaya hidup, selera, adapt dan budaya (tradisi), bahkan keyakinan agama. Sedangkan faktor exogenous kredibilitas dan akuntabilitas asuransi Syariah, serta aturan yang kondusif bagi pengembangan asuransi Syariah itu sendiri.
Dengan demikian, institusi asuransi Syariah di Indonesia memiliki prospek potensi dan peluang untuk dikembangkan lebih lanjut. Namun demikian, dalam upaya pengembangan institusi asuransi Syariah ini akan dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama tantangan dari optimalisasi asuransi Syariah itu sendiri maupun dari pihak dunia asuransi konvensional. Persaingan di antara asuransi (Syariah dan Konvensional) akan semakin tampak pada era globalisasi, di mana perusahaan asuransi yang besar akan menjadi superior atas perusahaan asuransi yang masih kecil.
4. Unit Simpan Pinjam Syariah
Institusi Syariah berikutnya yang didirikan umat Islam di Indonesia adalah institusi simpan pinjam Syariah. Institusi ini secara kelembagaan biasa disebut dengan Unit Simpan Pinjam Syariah (USPS). Pada mulanya, institusi ini didirikan pada kumunitas yang berbasis pondok pesantren; tetapi belakang, institusi ini pun berkembang pula dalam komunitas umat Islam di luar pesantren, terutama masyarakat di sekitar masjid. Pendirian USPS di pondok pesantren didasarkan pada pemikiran bahwa secara kwantitatif pondok pesantren memiliki potensi yang besar untuk diberdayakan. Hingga tahun 1995 misalnya, jumlah pondok pesantren di Indonesia tercatat sebanyak 8.528 buah dengan jumlah santri sebanyak 1,9 juta orang. Seluruh komponen pondok pesantren – kyai, ustadz, santri, dan masyarakat di sekitar pesantren – merupakan aset yang sangat potensial bagi pengembangan lembaga keuangan yang mekanismenya mengacu pada Syariah.
Oleh karena USPS didirikan di atas basis pondok pesantren, maka pada perjalanannya peranan Induk Koperasi Pondok Pesantren (Inkopontren) dan Pusat Koperasi Pondok Pesantren (Puskopontren) menjadi sangat strategis. Sehingga pada gilirannya, pengembangan USPS di pesantren bergantung pada mobilitas dari Puskopontren dan Inkopontren tersebut. Sebab kedua institusi ini – Inkopontren dan Puskopontren – berperan sebagai media dan penggerak dalam memobilisasi berbagai potensi keuangan yang dimiliki oleh pondok pesantren.
Dengan demikian, institusi simpan pinjam ini pada mulanya berbentuk Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren). Tetapi, ia kemudian berkembang pula di lingkungan masjid yang memiliki banyak jama`ah. Bahkan, sekarang institusi unit simpan pinjam pun dikembangkan dalam komunitas tertentu, seperti instansi pemerintah atau perusahaan.
5. Reksadana Syariah
Dalam keuangan konvensional, reksadan bergerak pasa modaldalam bidang pasar modal telah muncul sejak tahun 1977. Investasi melalui reksadana ini semakin hari semakin meningkat dan tumbuh subur, terutama sejak tahun 1996, seiring dengan pencanangan Bappepam sebagai tahun reksadana di Indonesia.
Sedangkan institusi reksadana Syariah di Indonesia secara ril berdiri pada 12 Juni 1997, yang keberadaannya diresmikan oleh Bapepam. Reksadana Syariah yang didirikan ini berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Untuk pertama kalinya, pendirian institusi reksadana Syariah ini direalisasikan atas kerja sama antara PT Danareksa Fund Management sebagai manajer investasi dengan Citibank N. A. Jakarta sebagai bank custodian.
Institusionalisasi Reksadana Syariah di Indonesia dilanjutkan dengan Lokakarya Alim Ulama tentang Reksadana Syariah yang diselenggarakan oleh MUI bekerja sama dengan BMI pada tanggal 29-30 Juli 1997. Lokarkaya ini antara lain merekomendasikan dan memperkuat agar umat Islam dapat mengimplementasikan institusi reksadana yang berbasis Syariah. Rekomendasi ini muncul mengingat hasil studi menunjukkan bahwa dalam reksadana yang saat ini ada disinyalir masih mengandung hal-hal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Misalnya, investasi reksadana pada produk-produk yang diharamkan dalam Islam, seperti minuman keras, judi, pornografi, dan jasa keuangan non Syariah. Selain itu, mekanisme transaksi antara investor dengan reksadana dan antara reksadana dengan emiten (pemilik perusahaan) harus diklasifikasi menurut hukum Islam.
6. Inkopontren
Induk Koperasi Pondok Pesantren (Inkopontren) didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil RI Nomor 003/BH/M.I/XII/1994 tentang Pengesahan Akta Pendirian Koperasi tanggal 7 Desember 1994. Pendirian Inkopontren ini didasarkan pada pemikiran bahwa jumlah alumni pesantren semakin hari semakin banyak dan sekitar 2 juta santri sedang aktif belajar di seluruh Indonesia. Hal ini merupakan potensi besar yang bisa diberdayakan secara keuangans, terutama dalam aspek sumber daya manusia.
Sebagai institusi keuangan yang berbasis Syariah berfungsi untuk membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan keuangan anggota dan masyarakat umum guna meningkatkan kesejahteraan keuangan dan sosial. Atas dasar fungsi itu, maka Inkopontren berperan: (1) meningkatkan dan mempertinggi kwalitas kehidupan manusia dan masyarakat; (2) memperkokoh perkeuanganan rakyat sebagai dasar kekuatan ketahanan keuangan nasional dan koperasi sebagai soko gurunya; dan (3) berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perkeuanganan nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi keuangan.
Sebagai pengembangan lebih lanjut dari Inkopontren ini, maka di beberapa wilayah telah didirikan Pusat Koperasi Pondok Pesantren (Puskopontren) sebagai anggota Inkopontren yang merupakan koperasi skunder tingkat propinsi yang beranggotakan Kopontren. Pada awal pendiriannya saja telah didirikan tujuh Puskopontren, yaitu Puskopontren Jawa Timur, Puskopontren Lampung, Puskopontren NTB, Puskopontren DI Yogyakarta, Puskopontren Jawa Barat, Puskopontren Jawa Tengah, dan Puskopontren DKI Jakarta. Sebagai kelanjutannya, maka saat ini pun telah didirikan beberapa Kopontren yang berlokasi di ponok-pondok pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
7. PINBUK
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dibentuk oleh Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK) pada tanggal 13 Maret 1995. Hingga saat ini di seluruh propinsi di Indonesia telah terbentuk PINBUK Propinsi; dan bahkan, mayoritas kabupaten dan kota di propinsi-propinsi tersebut pun telah didirikan pula PINBUK Kabupaten atau Kota.
PINBUK bukan institusi keuangan Syariah atau institusi yang menyelenggarakan kegiatan keuangan; tetapi, ia merupakan lembaga pengembang keuangan swadaya masyarakat (LPESM). Sebagai LPESM, maka PINBUK memiliki fungsi sebagai berikut: (1) mensupervisi dan membina teknis, administrasi, pembukuan, dan financial BMT-BMT yang terbentuk; (2) mengembangkan sumber daya manusia dengan melakukan inkubasi bisnis pengusaha baru dan penyuburan pengusaha yang ada; (3) mengembangkan teknologi maju untuk para nasabah BMT sehingga meningkat nilai tambahnya; (4) memberikan penyuluhan dan latihan; (5) melakukan promosi, pemasaran hasil dan mengembangkan jaringan perdagangan usaha kecil; dan (6) memfasilitasi alat-alat yang tak mampu dimiliki oleh pengusaha kecil secara perorangan, seperti fax alat-alat promosi dan alat-alat pendukung lainnya.
Seiring dengan fungsinya itu, maka saat ini ditemukan beberapa BMT yang didirikan oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM); selain, tentu saja, BMT yang didirikan oleh koperasi. Otoritas PINBUK dalam pendirian BMT hanyalah BMT yang didirikan oleh KSM, sedangkan BMT yang didirikan oleh koperasi kewenangannya berada pada pihak Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil.
8. Pasar Modal Syariah
Pasal modal Syariah (Islamic stock exchange) adalah kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan efek Syariah perusahaan public yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga profesi yang berkaitan dengannya, di mana semua produk dan mekanisme operasionalnya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Lembaga keuangan Syariah ini untuk pertama kalinya muncul dilatarbelakangi oleh terbitnya reksadana Syariah pada 25 Juni 1997, yang kemudian diiukti dengan terbitnya obligasi Syariah pada akhir 2002.
Perkembangan pasar modal Syariah semakin signifikan setelah pada 3 Juli 2000 muncul Jakarta Islamic Index (JII). Namun, secara formal, pasar modal dengan prinsip-prinsip Syariah ini baru diluncurkan pada Maret 2003, yang ditandai dengan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang dilanjutkan dengan MoU antara DSN-MUI dengan Self Regulatory Organization (SRO).
9. Obligasi Syariah
Obligasi Syariah atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip Syariah. SBSN ini telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 pada 7 Mei 2008. Berdasarkan sosialisasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang diselenggarakan oleh Departemen Keuangan RI pada 29 Mei 2008, untuk pertama kalinya penerbitan SBSN akan ditujukan untuk membiayai APBN secara umum (general purpose financing) dengan menggunakan jenis akad ijarah (sale & lease back). Dengan akad ini pemerintah menjual hak manfaat Barang Milik Negara (BMN) yang sudah ada (dapat berupa tanah dan/atau bangunan) kepada investor melalui perantara Special Purpose Vehicle (SPV), lalu menyewa kembali hak manfaat BMN tersebut dari investor terkait.
Untuk memperlancar penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), maka Pemerintah membentuk Perusahaan Penerbit SBSN. Pendirian perusahaan ini dibentuk berdasarkan atas 2 Peraturan Pemerintah (PP) yakni PP Nomor 56 Tahun 2008 tentang Perusahaan Penerbit SBSN dan PP Nomor 57 Tahun 2008 tentang Pendirian Perusahaan Penerbit SBSN. Perusahaan Penerbit SBSN ini berwenang untuk menerbitkan SBSN, mengelola proyek dalam hal penerbitan SBSN, mengelola dan menatausahakan aset SBSN untuk kepentingan pemegang sukuk serta kegiatan lainnya.
Sebenarnya, di Indonesia ini perkembangan sukuk sudah dimulai sejak 2002 dengan penerbitan Obligasi Syariah Mudharabah Indosat sebesar Rp 200 miliar. Hingga saat ini, penerbitan sukuk korporasi di Indonesia terus berkembang pesat. Selama periode Januari sampai dengan Juli 2008, penerbitan sukuk korporasi telah mencapai 12,5% dari total penerbitan obligasi korporasi atau sebesar Rp 1,62 triliun. Jumlah ini telah melebihi total penerbitan sukuk selama tahun 2007 yang sebesar Rp 1,03 triliun.
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa saat ini di Indonesia telah berdiri beberapa lembaga keuangan Syariah, baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bank telah berdiri 3 Bank Umum, 26 Unit Usaha Syariah, dan 114 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Sedangkan lembaga keuangan bukan bank lebih bervariasi lagi, yaitu Baitul Mal wa Tamwil, Asuransi Syariah, Unit Simpan Pinjam Syariah, Reksadana Syariah, Induk Koperasi Pondok Pesantren, Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil, Pasar Modal Syariah, Obligasi Syariah, dan Sukuk.

D. Upaya Sosialisasi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia
Masalah paling krusial yang dihadapi lembaga keuangan Syariah dewasa ini adalah masalah sosialisasi, terutama sosialisasi produk lembaga keuangan Syariah. Sosialisasi ini dianggap sebagai masalah karena pemahaman masyarakat tentang produk lembaga keuangan Syariah masih rendah, yang ditandai dengan masih rendahnya masyarakat dalam berpartisipasi terhadap lembaga keuangan Syariah. Bahkan, karena informasi pengetahuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan lembaga keuangan Syariah dengan lembaga keuangan konvensional secara mikro dan sempit. Jika masyarakat masih menganggap sama lembaga keuangan Syariah dengan lembaga keuangan konvensional, itu berarti bahwa masyarakat belum faham tentang ilmu moneter Syariah, dan ekonomi makro Syariah tentang interest, dampaknya terhadap inflasi, produksi, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank Syariah.
Isu sentral yang sering didengar adalah bahwa pemahaman masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk lembaga keuangan Syariah sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara lembaga keuangan Syariah dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam lembaga keuangan Syariah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar.
Dengan demikian, upaya sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah atau steakholders yang lainnya masih sangat rendah. Sehubungan dengan itu, maka agar lembaga keuangan Syariah dapat dikenal dan bahkan survive dalam masyarakat maka upaya sosialisasi ini perlu terus ditingkatkan. Banyak cara dan media yang dapat dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah dalam mensosialisasikan dirinya, antara lain melalui dakwah lewat majelis taklim, media massa cetak atau elektronik, buletin, majalah, buku, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Intensitas upaya sosialisasi melalui media masa (cetak atau elektronik), buletin, dan buku sudah cukup banyak dilakukan. Hanya saja, akses masyarakat terhadap media masa dan buku itu relatif rendah, sehingga tetap saja masyarakat tidak banyak tahu tentang lembaga keuangan Syariah.
Intensitas upaya sosialisasi melalui dakwah di majelis-majelis taklim pun masih dianggap rendah. Isi dakwah tentang ekonomi Islam masih di bawah isi dakwah tentang akidah, akhlak, dan fiqih ibadah. Hal ini antara lain disebabkan karena para ulama atau ustadz sendiri belum mengerti tentang ilmu lembaga keuangan Syariah, sehingga wajar bila kemudian majelis taklim dan masjid masih sepi dari topik ekonomi Syariah. Malah masih terlalu banyak ulama dan ustadz yang berpandangan dangkal bahkan miring tentang lembaga keuangan Syariah. Seandainya para ulama dan ustadz ini telah dicerdaskan dengan ilmu muamalah yang ilmiah (’aqliyah) dalam bidang lembaga keuangan Syariah, niscaya market share lembaga keuangan Syariah akan mengalami perkembangan yang signifikan, sehingga tercipta customer yang rasional, bermoral dan loyal.
Upaya sosialisasi yang paling utama dalam mengembangkan lembaga keuangan Syariah adalah melaksanakan edukasi masyarakat tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan sistem lembaga keuangan Syariah. Sasaran edukasi itu sangat luas yang meliputi seluruh komponen masyarakat, seperti ulama, pemerintah, akademisi, pengusaha, ormas Islam dan masyarakat secara luas. Upaya ini membutuhkan kerja keras dari para aktivis dan ilmuan ekonomi Syariah. Hal ini dapat dilakukan secara terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para ekonom, alim ulama, pemuka masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum.
Selain melakukan sosialisasi melaui proses edukasi masyarakat, metode sosialisasi pun perlu direformulasi, misalnya dengan menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual. Pendekatan rasional adalah meliputi pelayanan yang memuaskan, tingkat bagi hasil dan margin yang bersaing, kemudahan akses dan fasilitas. Pendekatan moral adalah penjelasan rasional tentang dampak sistem ribawi bagi ekonomi negara, bangsa dan masyarakat secara agregat, bahkan ekonomi dunia. Maka secara moral, tanpa memandang agama, semua orang akan terpanggil untuk meninggalkan sistem riba. Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan spiritual adalah pendekatan emosional keagaaman karena sistem dan label syariah. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang taat menjalankan agama, atau masyarakat yang loyal kepada aplikasi Syariah. Upaya membangun pasar spiritual yang loyal masih perlu dilakukan, agar share-nya terus meningkat. Semakin gencar sosialisasi membangun pasar spiritual, maka semakin tumbuh dan meningkat asset bank-bank Syariah.
Metode yang selama ini digunakan, yaitu pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang), hanya akan menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Selama ini pendekatan sosialisasi belum utuh dan integratif, tetapi masih parsial dan tidak tuntas, sehingga keraguan ulama dan masyarakat tentang lembaga keuangan Syariah belum hilang. Hal ini berarti bahwa pendekatan sosialisasi yang ada selama ini belum mampu membuka cakrawala pemahaman ulama, akademisi dan tokoh agama tentang lembaga keuangan Syariah.
Jika para profesional lembaga keuangan Syariah, yang berasal dari pendidikan umum, memberikan sosialisasi kepada para ulama pesantren, maka ulama bisa saja menolak berdasarkan ilmu ushul fiqh atau disiplin ilmu Syariah lainnya. Para ulama menggangap bahwa para profesional itu tidak ahli dalam tafsir al-Quran, Hadits, ushul fiqh, dan sebagainya. Oleh karena itu, sosialisasi kepada ulama harus melalui pendekatan ilmu-ilmu Syariah dan ditambah dengan ilmu-ilmu moneter dan lembaga keuangan secara utuh. Demikian pula sebaliknya, jika ulama pesantren yang melakukan sosialisasi, juga tidak cukup karena pendekatannya sering dengan ideom halal dan haram, penggunaan dalil naqli yang kering dari teori-teori rasional dan ilmiah atau tidak ada informasi ilmiah yang dilekatkan kepada Syariah.
Sosialisasi lembaga keuangan Syariah tidak cukup dengan hanya menggunakan pendekatan religius normatif (emosional) atau karena lebel Syariah. Dewasa ini, sosialisasi lembaga keuangan Syariah perlu disajikan dalam paket materi yang berwawasan ilmiah, rasional dan obyektif. Oleh karena itu, gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang lembaga keuangan Syariah itu sangat dibutuhkan, yang tidak hanya mengandalkan kepatuhan dan loyalitas pada Syariah. Dalam edukasi, masyarakat betul-betul dicerdaskan dan diajak agar berpikir rasional, obyektif, dan berpikir untuk kepentingan jangka panjang.
Ada beberapa pihak yang perlu terlibat dalam upaya sosialisasi lembaga keuangan Syariah. Memang, selama ini peran sosialisasi seperti dibebankan kepada pihak lembaga keuangan Syariah; tetapi, ternyata hasilnya kurang efektif. Oleh karena itu, perlu keterlibatan pihak lain selain pihak lembaga keuangan Syariah. Pihak yang perlu terlibat tersebut antara lain ulama, tokoh umat Islam, dan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Salah satu pihak yang diharapkan maju dalam sosialisasi adalah ormas Islam, karena merupakan jalur dakwah yang sangat strategis.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sosialisasi lembaga keuangan Syariah di Indonesia masih dianggap kurang. Indikasinya bahwa masyarakat yang terlibat dalam lembaga keuangan Syariah masih sangat kurang. Metode yang perlu dilakukan dalam mensosialisasikan lembaga keuangan Syariah adalah metode edukasi, yakni dialog interaktif berkait dengan masalah lembaga keuangan Syariah. Sedangkan pihak-pihak yang perlu terlibat dalam sosialisasi lembaga keuangan Syariah, selain lembaga keuangan Syariah itu sendiri perlu juga ada keterlibatan dari ulama, tokoh masyarakat, dan ormas Islam.

E. Penutup
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa lembaga keuangan Syariah di Indonesia telah muncul dan sedang tumbuh dengan perkembangan yang cukup signifikan. Berbagai jenis lembaga keuangan Syariah telah didirikan, mulai dari perbankan Syariah, Baitul Mal wa Tamwil, Asuransi Syariah, Unit Simpan Pinjam Syariah, Reksadana Syariah, Induk Koperasi Pondok Pesantren, Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil, Pasar Modal Syariah sampai dengan Obligasi Syariah dan Sukuk. Dewasa ini, berbagai jenis lembaga keuangan Syariah tersebut telah menyebar di berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Walaupun demikian, perkembangan lembaga keuangan Syariah yang signifikan ternyata masih menyisakan masalah. Masalah yang paling krusial adalah masalah sosialisasi, di mana lembaga keuangan Syariah tersebut belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Sehubungan dengan itu, agar masalah ini dapat diantisipasi, maka perlu ada sinergi dari berbagai steakholders lembaga keuangan Syariah dalam upaya mensosialisasi lembaga keuangan Syariah tersebut. Upaya sosialisasi yang sudah dan tengah dilakukan perlu terus dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan. Namun, sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan, metode yang paling perlu dilakukan adalah metode edukasi, yakni dialog interaktif berkait dengan masalah lembaga keuangan Syariah.











DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hasan Ridwan (Ed). BMT dan Bank Islam: Instrumen Lembaga Keuangan Syari`ah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim, 2008.
Ahmed, Ziauddin, dkk. Money and Banking in Islam. Islamabad: Institute of Policy Studies, 1996
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Bank Indonesia. “Perbankan Syari’ah Nasional: Kebijakan dan Perkembangan”, www.bi.co.id, Oktober 2001.
Behrens, Robert H. Comercial Loan Officer`s Handbook: from Basic Concepts to Advanced Technique. Boston: Bankers Publishing Company, 1995.
Budi Wisakseno (2007). "Career Path, Prospecit & Development in Islamic Banking". Makalah. Dipresentasikan pada acara SEconD 2007, hlm. 7.
Chiu, Shirley, Robin Newberger, and Anna Paulson. “Islamic Finance in the United States,” Society, September/October 2005.
Chudhury, M. A. “Investment and Insurance in Islamic Perspective,” International Journal of Social Economics, 10 (1983), pp. 14-26.
Djazuli, A. dan Yadi Janwari. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Haron, Sudin. Islamic Banking, Selangor: Darul Ehsan, 2001.
Heri Sudarsono. Badan dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2008.
Kahf, Monzer. "Strategic Trends in the Islamic Banking and Finance Movement", Paper, dipresentasikan pada the Harvard Forum on Islamic Finance and Banking, Harvard University, Cambridge, Boston, 6-7 April 2002, hlm. 1.
Karsten, I. “Islam and Financial Intermediation”, IMF Staff Papers, March (1982), hlm. 108-148.
Kun Sri Budiasih, "Sosialisasi Bisnis Syariah, Jangan Ditunda-tunda", dalam Wan Andy, dkk. (Peny.). Prospek Bank Syariah Pasca Fatwa MUI. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005.
Purwanto Abdulcadir. "Prospek Takaful di Indonesia" dalam Ulumul Qur'an, Nomor 2/VII/1996, hlm. 29-30.
Suhaji Lestiadi, dkk.. Panduan Unit Simpan Pinjam Syariah. Jakarta: P2KER Departemen Koperasi dan PKM, 1999.
Thanthawî, Muhammad Sayyid al-. Mu`âmalât al-Bunûk wa Ahkâmuhâ al-Syar`iyyah. Kairo: Dâr al-Nahdhah, 1997.
Usmani, Muhammad Imran Ashraf. Meezanbank`s Guide to Islamic Banking. Karachi: Darul Ishaat, 2002.
Wouters, Paul. Islamic Banking in Turkey, Indonesia, and Pakistan. Istanbul: Bener Law Office, 2008.

Ekis sebagai Ilmu

EKONOMI ISLAM SEBAGAI ILMU

 Yadi Janwari

Pendahuluan
Diskursus tentang ekonomi Islam (atau biasa pula diistilahkan dengan ekonomi Syari`ah) merupakan tema yang aktual dan menarik untuk ditindaklanjuti. Hal ini mengingat Ekonomi Islam masih dipandang sebagai "wajah baru" dalam khazanah pemikiran umat Islam, tetapi menunjukkan perkembangan yang sangat fenomenal. Sejak beberapa abad lamanya, persoalan umat Islam hanya berkutat sekitar fiqh dan persoalan politik. Sementara persoalan ekonomi Islam diduga baru muncul sekitar pertengahan abad ke-20 M. Barangkali, inilah sebabnya, mengapa persoalan ekonomi Islam itu masih terasa asing di telinga umat Islam.
Dalam perkembangan dewasa ini, ekonomi Islam telah mendapatkan perhatian yang sangat serius dari berbagai kalangan di Indonesia, baik kalangan intelektual maupun masyarakat luas. Hal ini dibuktikan dengan semakin semaraknya diskursus tentang persoalan tersebut. Ada dua alasan kuat, mengapa ekonomi Islam menjadi tema menarik saat ini. Pertama, ekonomi Islam dipandang sebagai "barang baru", yang dalam sejarah Islam sempat terlupakan. Kedua, kehadiran institusi ekonomi yang dibangun di atas landasan Islam telah berkembang dengan sangat fenomenal: dalam tempo yang sangat singkat (sekitar 10-15 tahun) telah berdiri ratusan atau bahkan ribuan lembaga ekonomi dan lembaga keuangan Islam. Ketiga, sistem ekonomi yang ada saat ini, sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis dipandang memiliki kelemahan terutama dalam menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.
Kajian ekonomi Islam ini tampaknya telah mewarnai pemikiran umat Islam, sekalipun masih terbatas pada kalangan tertentu. Pengembangan ekonomi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu telah mulai dirintis; dan bahkan, di beberapa Perguruan Tinggi ekonomi Islam telah dijadikan sebagai sebuah program studi, baik di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) maupun di lingkungan Perguruan Tinggi Umum (PTU). Namun demikian, sekalipun pemikiran dan bahkan aplikasi ekonomi Islam itu telah mengalami perkembangan yang signifikan, tetapi masih ditemukan asumsi yang menyatakan bahwa ekonomi Islam belum bisa dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Bahkan, yang lebih ekstrim, ada asumsi yang menyatakan bahwa ekonomi Islam tidak bisa dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang mapan, sebab ia hanya bernuansakan nilai dan norma.
Namun, di tengah perkembangannya yang sangat fenomenal itu, dalam kajian ilmiah dan akademik muncul pertanyaan besar: apakah ekonomi Islam itu bisa dipandang sebagai sebuah ilmu?, yang kemudian bisa diimplementasikan dalam sebuah disiplin ilmu. Pertanyaan ini, menurut penulis, perlu untuk dijawab dan dijelaskan bahwa ekonomi Islam dewasa ini dapat dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu. Atas dasar inilah, maka makalah ini kemudian ditulis.
Dalam pembahasannya, sebelum menjawab pada pokok persoalan, di awal tulisan akan dideskripsikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ilmu itu sendiri. Setelah itu, kemudian akan dideskripsikan tentang ilmu ekonomi. Dan, pada akhirnya akan dijelaskan tentang keberadaan ilmu ekonomi Islam. Dengan sistematika seperti ini, diharapkan ada kejelasan mengenai posisi ekonomi Islam sebagai ilmu.

Pemaknaan Ilmu
Menurut Rosenthal, mendefinisikan sesuatu atau objek ilmu pengetahuan sama artinya dengan melibatkan diri dalam usaha intelektual. Ia merupakan suatu usaha yang sangat dihargai oleh semua aliran pemikiran Islam kecuali oleh segelintir individu. Namun demikian, pengecualian ini bukan diarahkan pada pentingnya usaha pendefinisian suatu istilah atau konsep, melainkan lebih pada penekanan yang berlebihan terhadap logika yang dianggap satu-satunya disiplin ilmu tentang persoalan definisi (Rosenthal, 1977: 46).
Secara bahasa, `ilm diambil dari perkataan `alamah yang berarti tanda atau petunjuk, yang dengannya sesuatu atau seseorang dapat dikenali. Sehubungan dengan ini, `ilm dalam Islam sering disamaartikan dengan ayah, sehingga ilmu dalam Islam bersumber dari al-Qur'an yang terdiri dari ayat-ayat. Sedangkan dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan science, yang sinonim dengan episteme dalam bahasa Yunani (Jujun S. Suriasumantri, 1985: 324). Sehubungan dengan itu, maka dalam perpektif filsafat ilmu, dibedakan antara pengetahuan (knowledge) dengan ilmu (science). Perbedaan tersebut terletak dalam cakupannya: ilmu merupakan bagian dari pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang memiliki karakteristik tertentu. Dengan kata lain, ilmu adalah sekumpulan pengetahuan yang sistematis melalui metode ilmiah.
Banyak definisi ilmu yang dikemukakan oleh para ilmuan. Sebagai acuan umum, berikut akan dikemukakan beberapa definisi tentang ilmu tersebut. Secara sederhana, "The Oxford Pocket English Dictionary" sebagai dikutif M. A. Mannan menyebutkan bahwa ilmu bisa diartikan sebagai "pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis" atau "suatu wadah pengetahuan yang terorganisasi mengenai dunia fisik, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa" (Mannan, 1993: 15). Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan pada hakikatnya adalah segenap apa yang dikatahui tentang suatu objek tertentu (Jujun S. Suriasumantri, 1985: 324). Sedangkan, menurut Mulyadi Kartanegara, ilmu adalah any organized knowledge (Mulyadi Kartanegara, 2003: 1).
Dari beberapa definisi ini, maka dapat dipahami bahwa pada intinya ilmu adalah sebagian pengetahuan yang memiliki ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematis, rasional, empiris, universal, objektif, dapat dikur, terbuka, dan komulatif. Namun demikian, menurut Mulyadi Kartanegara, objek ilmu itu tidak mesti selalu empiris karena realitas itu tidak hanya yang empiris bahkan yang tidak empiris lebih luas (Mulyadi Kartanegara, 2003: 43).

Pemaknaan Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi adalah satu bidang studi yang berbicara tentang bagaimana manusia melakukan berbagai cara dalam mengorganisasikan kegiatan konsumsi dan produksi (Samuelson dan Nordhaus, 1985: 1). Selaras dengan pengertian ini, Eduian Mansfield mengartikan ekonomi dengan kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi (Mansfield, 1970: 1). Dalam dua definisi ini dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi diposisikan sebagai sebuah bidang studi (atau program studi) yang bisa jadi ekonomi telah dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu. Selain itu, dari definisi ini pun dapat ditangkap mengenai substansi ilmu ekonomi, yakni upaya manusia dalam mengkoordinir kegiatan konsumsi dan produksi. Hal ini mengandung makna bahwa aktifitas ekonomi manusia menjadi subjek kajian utama dalam ilmu ekonomi. Pengertian ini diperkuat oleh David C. Colander yang menyatakan bahwa ekonomi adalah studi tentang bagaimana manusia mengkoordinasikan keinginan dan hasratnya, memberikan mekanisme pengambilan keputusan, tradisi sosial, dan realita politik masyarakat (Colander, 2004: 5).
Agak berbeda sedikit dengan pengertian itu, Lord Robbins menjelaskan bahwa yang menjadi fokus utama ilmu ekonomi adalah perilaku manusia dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan yang mengandung persoalan pemilihan sumber-sumber yang diperlukan (Robins, 1962: 24). Dengan pengertian ini, semakin mempertegas bahwa ilmu ekonomi merupakan bagian dari ilmu sosial, karena perilaku manusia sebagai objek kajiannya. Hal inilah yang kemudian dinyatakan oleh Mc Kenzie dan Tullock bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari pola-pola perilaku manusia (McKenzie and Tullock, 1978: 6).
Terlepas dari definisi-definisi itu, Dawan Rahardjo mengetengahkan beberapa elemen masalah yang menjadi perhatian para ahli ekonomi, yaitu: (1) kegiatan yang dilakukan oleh orang seorang dan masyarakat dalam produksi, distribusi atau pertukaran, dan konsumsi; (2) pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa atau kebutuhan hidup; (3) keharusan untuk memilih alternatif, baik dalam menentukan berbagai tujuan, maupun dalam menggunakan sumber-sumber, yang mengandung berbagai alternatif; dan (4) terdapatnya sumber-sumber pemenuhan kebutuhan yang dianggap terbatas (Dawam Rahardjo, 1990: 112).
Dari deskripsi di atas, maka dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi pada intinya adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia. Perilaku tersebut mencakup aspek produksi, distribusi, dan konsumsi. Aspek-aspek tersebut kemudian dikoordinir agar kebutuhan hidup manusia bisa dipenuhi dengan cara memperdayakan berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.

Ilmu Ekonomi Islam
Berdasarkan pemaknaan ilmu dan ilmu ekonomi di atas, maka dapat diasumsikan bahwa ekonomi Islam dapat dipandang sebagai sebuah pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya informasi tentang ekonomi Islam. Telah banyak definisi, objek kajian dan ruang lingkup serta pembahasan tentang ekonomi Islam yang telah dikedepankan. Bahkan, informasi tentang ekonomi Islam ini telah menyajikan materi tentang ekonomi makro dan ekonomi mikro dalam perspektif Islam. Hal ini dapat disaksikan dalam berbagai literatur ekonomi Islam, yang jumlahnya sudah mencapai ratusan bahkan ribuan judul.
Persoalan berikutnya, apakah pengetahuan ekonomi Islam itu telah dirumuskan secara sistematis?, sehingga ia bisa dikatagorikan sebagai sebuah ilmu. Pada awal tradisi penulisan ajaran Islam dimulai, masalah ekonomi Islam belum ditulis secara khusus dan sistematis. Substansi ekonomi Islam dituangkan dalam literatur fiqh, khususnya fiqh al-mu`âmalah dan fih al-siyâsâh (al-mâliyah). Ekonomi Islam yang dituangkan dalam fiqh al-mu`âmalah merupakan ekonomi Islam yang mengatur interaksi kegiatan ekonomi antara individu dengan individu, individu dengan badan usaha, atau antara badan usaha dengan badan usaha. Sedangkan ekonomi Islam yang dituangkan dalam fih al-siyâsâh (al-mâliyah) adalah ketika ekonomi dipandang sebagai sebuah produk kebijakan penguasa. Pada masa ini, ekonomi Islam belum bisa dipandang sebagai sebuah ilmu, karena penulisan dan pembahasannya belum dirumuskan secara sistematis. Oleh karena itu, ekonomi Islam pada saat ini hanya bisa dinyatakan sebagai sekumpulan pengetahuan.
Penulisan dan pembahasan ekonomi Islam secara sistematis bisa jadi telah dimulai sejak era pasca ulama madzhab. Hal ini disebabkan ada asumsi yang menyatakan bahwa yang ditulis dan dibahas ulama madzhab adalah masalah fiqh dalam makna yang komprehensif. Dalam literatur yang ditulis ulama madzhab itu belum ditemukan bahasan khusus tentang iqtishâd (ekonomi). Penulisan dan pembahasan ekonomi Islam diasumsikan muncul pada periode taqlîd, yang dalam târîkh tasyrî` muncul sekitar pertengahan abad ke-7 H. Secara aspektual, memang pemikiran tentang ekonomi Islam sempat muncul pada masa ulama madzhab ini. Misalnya, pemikiran ekonomi Islam yang dikemukakan oleh Zayd bin Ali (80-120 H), Abu Yusuf (112-182 H), dan Abu `Ubayd al-Qashim bin Sallam (157-224 H). Penulisan dan pembahasan ekonomi Islam ini secara lebih komprehensif muncul pada era Ibn Taymiyah, yakni sekitar pertengahan abad ke-7 H.
Kalau begitu, lalu apa yang dimaksud dengan ilmu ekonomi Islam itu? Menurut M. A. Mannan, ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam (Mannan, 1993: 19). Dari definisi ini dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi Islam merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial, yang substansinya digali dari perilaku ekonomi umat manusia, khususnya umat Islam. Namun, sekalipun ilmu ekonomi Islam itu digali dari perilaku ekonomi umat, ia tidak terlepas dari tuntunan nilai-nilai Islam. Hal ini berarti bahwa semua perilaku ekonomi umat itu kemudian diakomodir sebagai sumber dari ilmu ekonomi Islam apabila perilaku ekonomi itu bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Sunnah. Hampir senapas dengan pengertian ini, Hasanuz Zaman mengartikan ekonomi Islam dengan ilmu dan aplikasi perintah serta aturan-aturan Syari`ah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber daya material sebagai sarana memuaskan keinginan manusia, sehingga memungkinkan dirinya untuk menunaikan kewajibannya kepada Allah dan Masyarakat (Hasanuz Zaman, 1404 H.: 51-53).
Sedangkan Akram Khan mendefinisikan ekonomi Islam dengan sebuah studi mengenai bagaimana manusia berusaha untuk memperoleh kebahagiaan (falah) dengan cara mendayagunakan sumber-sumber daya yang ada di bumi berdasarkan pada kerja sama dan partisipasi (Akram Khan, 1404 H.: 55-61). Selaras dengan pengertian ini, Muhammad Arif mendefinisikan ekonomi Islam dengan ilmu yang mempelajari perilaku Muslim dalam mengorganisasikan sumber daya sebagai amanah untuk memperoleh kebahagiaan (falah) (Muhammad Arif, 1984: 87-104). Pengertian ini tampaknya mengakomodir pengertian ilmu ekonomi yang dikemukakan oleh para ekonom Barat. Bandingkan, misalnya, pengertian ini dengan pengertian ilmu ekonomi yang dikemukakan oleh Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus di atas. Oleh karena itu, inti dari ilmu ekonomi adalah upaya mengorganisir sumber daya untuk meraih satu tujuan, yaitu kebahagiaan.
Selain ekonomi Islam dipandang sebagai ilmu karena telah disusun secara sistematis, juga ia telah memenuhi unsur-unsur sebuah ilmu. Dalam perspektif filsafat ilmu, sebuah disiplin ilmu itu mesti memenuhi tiga unsur, yaitu ontologi (tentang apa?), epistimologi (tentang bagaimana?), dan aksiologi (tentang untuk apa?). Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu itu terdiri atas tiga unsur, yaitu unsur substansi, unsur informasi, dan unsur metodologi (Jujun S. Suriasumantri, 1985: 42-43). Unsur substansi dikenal dengan subyek (material dan formal) atau subject matter suatu disiplin ilmu. Sedangkan unsur informasi merupakan isi tuturan pemahaman dan penjelasan yang bersifat abstrak tentang unsur substansi itu, baik yang dapat diamati (observable) dan diukur (measurrable) maupun yang tidak dapat diamati dan diukur. Semantara itu, unsur metodologi merupakan cara kerja yang "mengotak-ngatik" unsur substansi dan unsur informasi dengan menggunakan cara berpikir dan cara kerja tertentu, yang secara umum dikenal sebagai metode ilmiah, kemudian berkembang menjadi metode penelitian.
Untuk unsur ontologi tampaknya telah dapat dipenuhi oleh ekonomi Islam mengingat materi ekonomi Islam telah banyak dibicarakan dan bahkan dituangkan dalam berbagai tulisan. Bahkan, belakangan materi ekonomi Islam ini telah ditulis secara sistematis, yang kadang-kadang sistematika pembahasannya disesuaikan dengan sistematika pembahasan ekonomi konvensional, yang telah lebih dahulu mengalami perkembangan.
Persoalan ekonomi Islam, dalam perspektif filsafat ilmu, ini muncul pada saat mengidentifikasi unsur epistimologi atau metodologi. Persoalan ini mengemuka ketika menjawab pertanyaan: apakah ekonomi Islam telah memiliki metodologi yang mandiri? atau ekonomi Islam itu hanya sekedar mengadopsi metodologi yang dimiliki oleh ilmu ekonomi konvensional?
Berkait dengan metodologi ilmu ekonomi Islam, perlu diperjelas dahulu bahwa ilmu ekonomi Islam itu bisa diposisikan sebagai ilmu ekonomi normatif dan ilmu ekonomi positif. Ilmu ekonomi normatif berarti bahwa ilmu ekonomi Islam mempersoalkan tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu, sedangkan ilmu ekonomi positif berarti ilmu ekonomi Islam juga mempersoalkan tentang masalah ekonomi yang muncul dalam kehidupan masyarakat (Islam). Sehubungan dengan itu, maka ada dua metodologi utama yang dapat dikembangkan dalam ilmu ekonomi Islam, yaitu metode deduktif dan metode induktif (Kahf, 1995: 12). Metode deduktif – metode istinbathi, digunakan dalam ilmu ekonomi Islam normatif, sedangkan metode induktif – metode istiqra'i, digunakan dalam ilmu ekonomi Islam positif. Metode deduktif berarti bagaimana menurunkan nilai dan norma ekonomi yang termaktub dalam al-Qur'an dan al-Sunnah dalam tatanan ekonomi umat, sedangkan metode induktif berarti membuat generalisasi kegiatan ekonomi umat yang kemudian dihubungkan dengan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Dengan demikian, dalam pengembangan ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu dapat digunakan dua metode, yaitu metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif digunakan untuk memahami substansi ekonomi yang tertuang dalam al-Qur'an, al-Sunnah, dan pendapat para fuqaha. Sedangkan metode induktif digunakan untuk membuat generalisasi dari berbagai peristiwa ekonomi yang terjadi di kalangan umat Islam. Metode kedua ini, dewasa ini, sangat mungkin dilakukan mengingat umat Islam telah mulai merealisir nilai dan norma ekonomi Islam, seperti perbankan, asuransi, serta lembaga-lembaga keuangan dan praktek ekonomi Islam lainnya.
Menurut Monzer Kahf (1995: 12), pada mulanya metode deduktif dikembangkan oleh para ahli hukum Islam (fuqaha). Metode ini dapat digunakan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah. Sedangkan metode induksi (restropektif) banyak digunakan oleh para penulis Muslim kontemporer dengan cara merumuskan solusi alternatif dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi umat kontemporer dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan Petunjuk Tuhan.
Dalam unsur aksiologis, munculnya ekonomi Islam sebenarnya merupakan tuntutan yang logis. Demikian pula secara estetik, ekonomi Islam dapat menciptakan kehidupan yang harmonis, selaras, dan seimbang. Dalam kerangka yang sangat luas, ekonomi Islam dapat menjadi tuntutan etis untuk memperkecil ketidakadilan dan memperbesar kemakmuran bersama.
Secara logika, ekonomi Islam dapat menjadi ekonomi alternatif pada dikotomi antara ekonomi Kapitalis dan ekonomi Sosialis, yang pada saat bersamaan mulai dikritisi kelemahannya. Sedangkan secara estetik, ekonomi Islam telah melahirkan kekuatan ekonomi yang dapat menjaga keseimbangan dan keselarasan sosial dalam harmoni kehidupan, pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan tidak merusak tatanan dan harmoni kehidupan semesta. Adapun secara etis, ekonomi Islam dibangun di atas landasan maqâshid al-syarî`ah, yakni hifzh al-dîn, hifzh al-nafs, hifzh al-nashl, hifzh al-`aql, dan hifzh al-mâl.
Dengan deskripsi ini, maka dapat dipastikan bahwa ekonomi Islam telah memenuhi unsur-unsur sebuah ilmu, yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Dengan begitu, bahasan ini menjadi penguat pada status ekonomi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu.

Ekonomi Islam sebagai Disiplin Ilmu
Untuk mengawali pembahasan ini, tampaknya perlu mereduksi terlebih dahulu pemikiran Alparslan Acikgence tentang tahapan pembentukan sebuah disiplin ilmu. Menurut Alparslan Acikgence, ada tiga tahap bagi terbentuknya sebuah disiplin ilmu, yaitu:
1. Tahap problematik (problematic stage), yaitu tahap di mana berbagai problem subyek kajian dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian tertentu. Tahap ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
2. Tahap disipliner (disciplinary stage), yaitu tahap di mana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah sepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan ditentukan sesuai dengan bidang masing-masing.
3. Tahap penanaman (naming stage), yaitu tahap pemberian nama pada materi dan metode yang telah dirumuskan pada tahap kedua (Acikgence, 1996: 68).
Tahapan ini bisa digunakan untuk menganalisis proses atau sejarah pembentukan ekonomi Islam menjadi sebuah disiplin ilmu.
Pada tahap pertama, yakni problematic stage telah berlangsung pada awal perkembangan ekonomi Islam, di mana ekonomi Islam dikaji dan dibahas secara parsial dan masuk pada subjek bahasan ilmu lain. Ekonomi Islam banyak disinggung secara parsial dalam bidang fiqh, terutama dalam fiqh al-mu`amalah dan fiqh al-siyasah al-maliyyah. Pada tahapan ini, pembahasan ekonomi Islam sering diintegrasikan dengan pembahasan hukum Islam, terutama fiqh al-mu`amalah. Bahkan, sempat muncul anggapan bahwa ekonomi Islam identik dengan fiqh al-mu`amalah.
Pembahasan ekonomi Islam masuk dalam kitab al-Umm dan al-I`tisham karya al-Syafi`i, al-mudawwanah al-kubra' karya Imam Malik, dan kitab-kitab fiqh lainnya. Bila dihubungkan dengan tarik al-tasyri` (sejarah hukum Islam), maka bisa jadi masa ini berlangsung pada periode imam mujtahid. Saat ini masalah fiqh merupakan focus of interest utama, sehingga sulit ditemukan literatur yang membahas secara khusus tentang ekonomi Islam.
Pada tahap kedua, disciplinary stage, masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah sepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan tertentu sesuai dengan bidang masing-masing. Spesialisasi ekonomi Islam telah menjadi ciri utama pada tahap ini. Pembahasan ekonomi Islam tidak lagi dibahas secara terpadu dengan bidang ilmu lain, seperti fiqh al-mu`amalah dan fiqh al-siyasah al-maliyyah; tetapi, ekonomi Islam disajikan secara mendalam dan mandiri.
Pada fase ini mulai muncul penulisan buku yang substansinya secara spesifik berbicara tentang ekonomi Islam. Misalnya, Abu Yusuf (w. 182 H) menulis al-Kharaj, al-Syaibani (w. 198 H) menulis al-Kasb, Abu Ubayd (w. 224 H) menulis al-Amwal, dan Yahya bin Umar (w. 289 H) menulis al-Ahkam al-Suq. Pemikiran ekonomi Islam ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh intelektual Muslim pada abad pertengahan, seperti Ibn Hazm (w. 1064 H), Nizham al-Mulk (w. 1093 H), Ibn Taymiyah (w. 1328 H), dan Ibn Khaldun (w. 1404 H.).
Dewasa ini, penulisan dan pembahasan ekonomi Islam semakin spesifik dan terspesialisasi sedemikian rupa dengan intensitas yang sangat tinggi. Tokoh populer pada tahap ini adalah Muhammad Baqir al-Shadr, M. Umer Chapra, M. A. Mannan, Nejatullah Siddiqi, Timur Kuran, dan Muhammad Arif. Muhammad Baqir al-Shadr menulis sebuah buku yang monumental, yakni buku Iqtishaduna (ekonomi kita), yang berusaha menyusun teori-teori baru dengan mendeduksi ekonomi Islam dari al-Qur'an dan al-Sunnah, serta membuang teori-teori yang muncul dalam ekonomi konvensional. Dalam perkembangan berikutnya, pemikiran Muhammad Baqir al-Shadr ini diikuti oleh Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasani, dan Kadim al-Shadr, yang kemudian lahir menjadi madzhab tersendiri dalam aliran pemikiran ekonomi Islam.
M. Umer Chapra telah menulis satu buku yang dapat mendeskripsikan tentang hakikat ekonomi Islam, yaitu buku the Future of Economic: an Islamic Perspective. M. A. Mannan menulis buku Islamic Economic: Theory and Practice yang sangat monumental tentang ilmu ekonomi Islam mengingat bahasan mencakup aspek ontologi, epistiomologi, dan aksiologi. Sedangkan Nejatullah Siddiqi menulis buku Islamic Economic Though: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought. Ketiga pemikir ini menjelaskan bahwa mengembangkan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan teori-teori yang dihasilkan oleh ekonom konvensional. Teori-teori itu dapat diakomodir sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang termuat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
Selain literatur yang telah dikemukakan di atas, tentu saja masih banyak buku-buku ekonomi Islam lain yang telah ditulis oleh para ekonom Muslim. Namun, dari beberapa literatur itu dapat dipahami bahwa pemikiran ekonomi Islam itu dapat diklasifikasi menjadi tiga aliran pemikiran. Pertama, aliran pemikiran yang berusaha menyusun teori-teori baru dengan mendeduksi ekonomi Islam dari al-Qur'an dan al-Sunnah, serta membuang teori-teori yang muncul dalam ekonomi konvensional. Aliran pemikiran ekonomi ini dimotori oleh Muhammad Baqir al-Shadr. Kedua, aliran yang menyatakan bahwa dalam mengembangkan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan teori-teori yang dihasilkan oleh ekonom konvensional dan teori-teori itu dapat diakomodir sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang termuat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Aliran ini dimotori oleh M. Umer Chapra, M. A. Mannan, dan Nejatullah Siddiqi. Ketiga, aliran yang menyatakan bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Islam pasti benar, tetapi ekonomi islam belum tentu benar karena ekonomi Islam adalah hasil tafsiran manusia atas al-Qur'an dan al-Sunnah. Aliran pemikiran ini dimotori oleh Timur Kuran dan Muhammad Arif.
Sedangkan pada tahap yang terakhir, naming stage, yaitu tahap pemberian nama pada materi dan metode yang telah dirumuskan pada tahap kedua. Pada tahap ini muncul beberapa konsep sebagai nama dari disiplin ilmu ekonomi Islam. Namun, nama yang paling populer adalah nama ekonomi Islam (Islamic economics) dan ekonomi Syari`ah (Syari`a ekonomics).
Secara formal disiplin ilmu ini lahir pada Konferensi Internasional I tentang Ekonomi Islam yang diselenggarakan di Mekah tahun 1976 (Arif Hoetoro, 2007: 157). Diskursus tentang ekonomi Islam terus berlanjut, bukan hanya di kalangan akademisi dan kaum intelektual Muslim, tetapi juga melibatkan masyarakat luas. Bahkan, pada tahun 1980-an ekonomi Islam mulai diimplementasikan di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Ekonomi Islam ini mengalami perkembangan yang lebih signifikan lagi setelah Organisasi Konferensi Islam (OKI) mendirikan dua universitas khusus yang mendalami disiplin ilmu ekonomi Islam. Kedua universitas tersebut adalah Internasional Islamic University of Islamabad (IIUI) di Pakistan tahun 1981 dan Internasional Islamic University of Malaysia (IIUM) di Malaysia tahun 1983. Progres ini kemudian ditindaklanjuti OKI dengan mendirikan Centre for Research in Islamic Economics of King Abdulaziz University dan Islamic Research and Training Institute (IRTI) yang diprakarsai oleh Islamic Development Bank (IDB).
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam sejarah perkembangannya, ekonomi Islam telah melalui tahapan bagi lahirnya sebuah disiplin ilmu, mulai dari problematic stage, disciplinary stage sampai kepada naming stage. Ketiga tahapan itu dilalui ekonomi secara spesifik dan valid, sehingga perkembangannya telah memenuhi unsur scientific history.

Kesimpulan
Dari deskripsi tentang ekonomi Islam sebagai ilmu di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, ekonomi Islam dapat dikatagorikan sebagai sebuah ilmu; bahkan, ia bukan lagi merupakan sekedar pengetahuan. Hal ini disebabkan karena indikator dan unsur ilmu telah terpenuhi oleh ekonomi Islam. Indikatornya, berbagai informasi tentang ilmu ekonomi Islam telah tersebar di berbagai literatur; dan bahkan, pengetahuan tersebut telah dirumuskan secara sistematis.
Kedua, ekonomi Islam telah memenuhi tiga unsur filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Unsur ontologi ekonomi Islam berkait dengan substansi dan informasi ekonomi Islam itu sendiri sebagai sebuah pengetahuan. Unsur metodologi, yang secara umum terdiri dari metode deduktif (istibathi) dan metode induktif (istiqra'i). Sedangkan unsur aksiologi terpenuhi ketika ekonomi Islam dapat memenuhi kebutuhan umat, yakni sebagai solusi bagi terselesaikannya berbagai masalah ekonomi umat.
Ketiga, dalam sejarah perkembangannya, ekonomi Islam telah memenuhi tahapan bagi lahirnya sebuah disiplin ilmu. Pada problematic stage pemikiran ekonomi Islam masih terintegrasi dengan disiplin ilmu lain, terutama dengan bidang kajian fiqh. Pada disciplinary stage, pemikiran ekonomi Islam mulai ditulis secara spesifik oleh para ekonom muslim dan tidak terintegrasi lagi dengan bidang kajian lain. Pada naming stage, konsep yang muncul ke permukaan adalah Islamic Economic dan Syari`a Economic, yang dalam bahasa Arab sering disebut dengan Iqtishadiyyah.
Wallahu A`lam.


BAHAN BACAAN

Achmad Ramzy Tadjoeddin, dkk. 1992. Berbagai Aspek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana dan P3EI UII.
Adiwarman Azwar Karim. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Afzalur Rahman. 1996. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Ahmad, Khursyid. 1980. Studies in Islamic Economics. Leicester: The Islamic Foundation.
Ahmad Syaefuddin, A. 1984. Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Samudra.
Akram Khan. 1983. "Islamic Economics, Nature and Need", dalam Journal for Research in Islamic Economics. Vol. 1. No. 2.1404. Jeddah, King Abdulaziz University. Halaman 55-61.
Arif Hoetoro. 2007. Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: BPFE Unibraw.
`Assal, Ahmad Muhammad al- dan Abdul Karim, Fathi Ahmad. 1980. Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya. Terjemahan oleh Abu Ahmadi dan Anshori Umar Sitanggal. Surabaya: Bina Ilmu.
`Awdah, `Abd al-Qâdir. 1977. al-Mâl wa al-Hukm fî al-Islâm. Kairo: al-Mukhtâr al-Islâmî.
Colander, David C. 2004. Economics. New York: McGraw-Hill,
Eko Suprayitno. 2005. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Euis Amalia. 2007. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer. Jakarta, Granada Press.
Hasan Aedy. 2007. Indahnya Ekonomi Islam. Bandung: Alfabeta.
Hasanuz Zaman. 1983. "Definition of Islamic Economics", dalam Journal for Research in Islamic Economics. Vol. 1. No. 2.1404. Jeddah, King Abdulaziz University. Halaman 51-53.
Ibâzah, Ibrâhîm Dasûqî. 1973. al-Iqtishâd al-Islâmî: Muqawwimatuh wa Minhâjuh. Kairo: Dâr al-Sha`b.
Jujun S. Suriasumantri. 1985. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kahf, Monzer. 1995. Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Machnun Husein. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Karnaen A. Perwataatmadja. 1996. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. Depok: Usaha Kami.
Mannan, M. A. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi islam. Terjemahan oleh M. Nastangin. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Mansfield, Eduian. 1970. Microeconomics. New York: W.W. Norton and Co.
Maududi, Sayyid Abû al-A`la. 1977. Capitalism, Socialism, and Islam. Kuwait: Islamic Book Publishers.
----------. 1978. Dasar-Dasar Ekonomi dalam Islam. Terjemahan oleh Abdullah Suhaili. Bandung: Al-Ma`arif.
Moh. Daud Ali. 1988. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: UI Press.
Muhammad. 2007. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muhammad Arif. 1984. "Toward a Definition of Islamic Economics", dalam Journal for Research in Islamic Economics. Vol. 2. No. 2.1405. Jeddah, King Abdulaziz University. Halaman 87-103.
Mustafa Edwin Nasution, dkk. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
Robbins, Lord. An Essay on the Nature and Significance of Economic Science. New York: MacMillan & Co.Ltd., 1962.
Samuelson, Paul A. dan Nordhaus, William D. Economic. New York: McGraw-Hill Book Company, 1985.
Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1970. Some Aspects of the Islamic Economy. Lahore: Islamic Publications.
Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. 1985. Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam. Terjemahan oleh Anshari Umar Sitanggal. Bandung: Al-Ma`arif.
Syafruddin Prawiranegara. 1967. Apa yang Dimaksud dengan Ekonomi Islam. Jakarta: Publica.
Umer Chapra, M. 1997. al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil. Terjemahan oleh Lukman Hakim. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Yusuf Qardhawi. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin. Jakarta: Gema Insani Press.
Zainal Abidin Ahmad. 1979. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Minggu, 07 Maret 2010

Implementasi Ekonomi Islam

IMPLEMENTASI EKONOMI ISLAM
DI NDONESIA

Oleh: YADI JANWARI

Pendahuluan
Diskusi tentang ekonomi Islam, khususnya di dunia Islam terus mengalami peningkatan. Apalagi saat ini, ekonomi Islam bukan lagi sebagai "barang baru", melainkan telah menjadi sesuatu yang sudah banyak dikenal di seluruh negara, termasuk di Indonesia. Kehadiran term ekonomi Islam ini tidak lagi merupakan sebuah momok yang menakutkan, tetapi justru menjadi angin segar, yang bisa membawa pencerahan bagi kesejahteraan umat manusia.
Inilah sebabnya, mengapa ekonomi Islam mendapatkan respon positip dari berbagai negara. Respon tersebut bukan hanya dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi juga muncul dari negara-negara yang diklaim sebagai negara skuler. Hal ini menjadi tanda bahwa ekonomi Islam sedang berada dalam posisi rahmah li al-`alamin.
Sehubungan dengan itu, Umer Chapra menyatakan bahwa Islam telah menawarkan sebuah sistem ekonomi. Islam menekankan agar menggunakan sumber daya yang diberikan Allah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia dan menyediakan mereka kondisi kehidupan yang layak. Sehubungan dengan itu, bahwa upaya implementasi ekonomi Islam hendaknya diwujudkan dalam bentuk merealisasikan ketentuan-ketentuan ekonomi yang berasal dari Allah sebagaimana termuat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
Namun demikian, eksistensi ekonomi Islam yang tampak dewasa ini masih saja dipandang belum maksimal. Oleh karena itu, masih dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk dapat lebih mengimplementasikan ekonomi Islam tersebut. Atas dasar inilah, maka makalah ini kemudian disusun, sebagai salah satu bentuk cetak biru atau "mimpi" penulis dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam ke depan, khususnya di Indonesia.
Untuk kepentingan itu, maka pada makalah ini akan menyajikan dua aspek utama, yaitu tentang tantangan dan peluang pengembangan ekonomi Islam dan inisiatif strategisnya. Namun, sebelum masuk pada dua pembahasan itu akan diawali terlebih dahulu dengan deskripsi tentang sejarah ekonomi Islam di Indonesia. Hal ini penting untuk disajikan agar dalam tulisan berikutnya memiliki kontinuitas yang paralel dan tidak parsial.

Sejarah Ekonomi Islam di Indonesia
Sulit memang untuk menentukan kapan ekonomi Islam itu mulai masuk dan kemudian tumbuh di Indonesia. Hal antara lain disebabkan karena tidak ditemukan data ril tentang kapan ekonomi Islam itu diim-plementasikan di Indonesia. Namun demikian, diasumsikan bahwa ekonomi berbasis Syari`ah itu telah lahir seiring dengan datangnya Islam ke Nusantara. Sebab, datangnya Islam ke Nusantara ini dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Arab, Persia, dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera; Sunda kelapa dan Gresik di Jawa.
Implementasi ajaran Islam tentang tijârah telah ditunjukkan oleh para pembawa Islam tersebut, yang kemudian berkelanjutan dilaksanakan oleh para pemeluk Islam berikutnya. Tidak sedikit mereka yang masuk Islam saat itu beralasan karena faktor ketertarikannya dalam hubungan ekonomi dengan umat Islam. Di beberapa wilayah, misalnya di Jawa, tidak sedikit para penguasa Jawa yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa masuk Islam disebabkan karena faktor hubungan ekonomi dengan para pedagang muslim.
Selain itu, dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara ini juga tercatat bahwa para pendakwah Islam itu umumnya para pelaku bisnis. Misalnya, K. H. Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) sebagai wadah untuk mengimplementasi ekonomi berbasis Syari`ah, K. H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) adalah seorang pedagang batik, dan K. H. A. Hasan (pendiri Persatuan Islam) juga adalah seorang pedagang di Singapura. Demikian pula pedagang-pedagang batik, perak, kretek dan tekstil dari Pekalongan, Tasikmalaya, Laweyan (Solo), Godean, Kotagede, Karangkajen, Kauman (Yogyakarta), Kudus, dan Gresik adalah pusat pengusaha muslim. Sehubungan dengan itu, Lance Castles menyimpulkan bahwa Islam mula-mula berkembang di antara golongan pedagang, dan kota-kota pantai utara Jawa yang di-Islamkan lebih dahulu.
Dengan demikian, kehadiran Islam ke Indonesia pada mulanya berba-rengan dengan pergerakan ekonomi. Oleh karena itu, substansi ekonomi Islam akan mendapatkan perhatian di awal perkembangan Islam ini. Kalau begitu, maka bisa dipahami bahwa benih-benih ekonomi Islam telah ada semenjak Islam masuk ke wilayah Indonesia.
Secara sosiologis, pranata ekonomi berdasarkan Islam telah direalisa-sikan oleh umat Islam sejak lama. Realisasi pranata ekonomi Islam dalam kehidupan umat Islam ini bisa jadi sebagai salah satu bentuk internalisasi ajaran Islam yang telah berlangsung sejak lama. Internalisasi ini juga merupakan proses penyerapan ajaran Islam yang telah didakwahkan oleh para penyebar Islam sebelumnya dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang telah dimaklumi dalam sejarah peradaban Islam bahwa Indonesia pernah dikuasai dan diperintah oleh beberapa kerajaan besar Islam, sehingga sedikit banyak berpengaruh pada pola perilaku masyarakat, termasuk di dalamnya penerapan pranata ekonomi.
Sebut saja misalnya pranata maro, nengah, atau mertelu adalah pranata ekonomi yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat tradisional dalam bidang pertanian atau peternakan. Baik merupakan hasil internalisasi ajaran Islam maupun secara kebetulan, pranata ini secara substantif selaras dengan salah satu akad dalam fiqh al-mu`âmalah, yakni akad muzâra`ah. Antara maro, nengah, atau mertelu dengan muzâra`ah memiliki banyak kesamaan dalam beberapa unsure, yakni ada pemilik tanah, pengelola tanah, tanah yang akan digarap, dan pembagian keuntungan. Hal yang sama juga terjadi dalam bidang peternakan; dan bahkan dalam bidang perdagangan (tijârah).
Selanjutnya, dalam sejarah hukum Islam di Indonesia ditemukan beberapa materi hukum yang secara substantif diambil dari hukum ekonomi Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil menggambarkan betapa hukum ekonomi Islam telah diadopsi ke dalam hukum nasional. Jika memakai teori Resepsi, maka dapat dipahami bahwa hukum ekonomi Islam itu telah diresepsi atau diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa transformasi hukum ke dalam dua undang-undang itu didasarkan pada hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, yang umumnya telah diwarnai oleh ajaran Islam.
Dengan dua ilustrasi di atas, secara sosiologis dan yuridis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pranata ekonomi Islam telah direalisir oleh masyarakat bangsa Indonesia sejak lama. Pranata ekonomi dan hukum ekonomi Islam itu hingga saat ini masih dilaksanakan oleh sebagian umat Islam. Bahkan, dalam bidang pertanian, penerapannya tidak hanya selaras dengan akad muzâra`ah, tetapi diterapkan pula beberapa akad lain, seperti musâqâh atau ijârah. Hal ini memberikan bukti bahwa pranata ekonomi Islam itu masih dirasakan kemanfaatannya bagi kehidupan masyarakat, terutama dalam mengatur prinsip operasional dan mekanisme ekonomi.
Secara parsial, perhatian umat Islam terhadap ekonomi Islam telah muncul jauh-jauh hari sebelumnya. Gagasan tentang ekonomi Islam telah muncul sejak awal abad ke-20 ketika Haji Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI). Pendirian SDI ini mengisaratkan keinginan umat Islam untuk merealisasikan ajaran ekonomi menurut Islam dan sekaligus menentang kebijakan ekonomi yang dikembangkan oleh kolonialisme Belanda dan kompetisi perdagangan Cina. Sistem ekonomi yang dikem-bangkan kolonialisme Belanda saat itu merepresentasikan sistem ekonomi Kapitalis, yang dalam banyak hal bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, pendirian SDI bisa diasumsikan sebagai bentuk implementasi ekonomi Islam, terutama dalam bidang tijârah.
Gerakan untuk mengimplementasikan ekonomi Islam ini kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yakni HOS Tjokroaminoto. Pada tahun 1924 HOS Tjokroaminoto menulis buku berjudul “Sosialisme Islam”. Buku ini merefleksikan tentang gagasan dan ide tentang sistem ekonomi Islam yang dihadapkan secara tajam dengan sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis. Selain itu, dengan gerakan ekonomi Serikat Dagang Islam/Serikat Islamnya, HOS Cokroaminoto juga memunculkan gagasan sekaligus juga aplikasi ekonomi yang berbasis Syari`ah. Gerakan ekono-minya ini, dalam sejarah, berupaya merekonstruksi sosial-ekonomi yang berkembang, yang bernuansakan eksploitasi dan monopolis yang kapitalistik.
Kemudian pada tahun 1950-an terbit buku “Bersamaisme” yang ditulis oleh Kaharrudin Yunus. Substansi buku ini, termasuk buku “Sosialisme Islam” karya HOS Cokroaminoto berupaya menjembatani polemik yang semakin tajam antara sistem ekonomi Kapitalis dengan sistem ekonomi Sosialis. Keduanya berupaya menawarkan ekonomi yang berbasis ajaran Islam sebagai alternatif. Namun, dalam perkembangannya kedua buku tersebut tidak mendapatkan respon yang positif dari umat Islam. Hal ini bisa jadi disebabkan karena konsentrasi umat Islam pada umumnya lebih diarahkan pada persoalan politik, sehingga aspek ekonomi terabaikan.
Sejak saat itu, gagasan tentang ekonomi Islam tidak populer di kalangan umat Islam. Padahal pada tahun 1950-an ini, menurut ahli ekonomi dan pemikir muslim, sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis tengah memasuki masa krisis; dan bahkan hampir mati. Teori-teori ekonomi konvensional telah dinyatakan mati karena beberapa alasan. Pertama, para-digma yang dipakainya tidak mengacu pada kepentingan masyarakat, sehingga ada dikotomi antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara. Kedua, teori ekonomi tidak mampu mengentaskan masalah kemis-kinan dan ketimpangan pendapatan. Ketiga, teori ekonomi tidak mampu menyelaraskan hubungan antara negara-negara di dunia, terutama antara negara maju dengan negara-negara berkembang dan terbelakang.
Walaupun gagasan ekonomi Islam secara komprehensif mengalami stagnan, namun kajian hukum ekonomi Islam secara aspektual terus berlangsung. Aspek hukum ekonomi Islam yang paling banyak dikaji saat ini adalah masalah ribâ’. Kajian tentang ribâ’ ini menjadi sangat menarik perhatian umat Islam ketika dihubungkan dengan masalah bunga bank. Untuk kepentingan ini, maka di kalangan umat Islam telah terjadi diskursus yang sangat panjang dan melelahkan, sekalipun hasilnya tidak dapat diwujudkan secara ril. Sebab, hasil diskusi itu tidak berimplikasi sosial ke dalam kehidupan umat Islam. Misalnya, diskusi itu menyimpulkan bahwa bunga bank itu sama dengan riba dan haram hukumnya, tetapi mayoritas umat Islam tetap saja berhubungan secara ekonomis dengan dunia perbankan.
Pada tahun 1968 Majelis Tarjih Muhammadiyah melakukan kajian men-dalam tentang riba dan bunga bank. Keputusan yang diambilnya menya-takan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, adalah termasuk syubhât, artinya belum jelas halal dan haramnya. Oleh karena itu, sesuai dengan petunjuk Hadits, maka umat Islam mesti berhati-hati dalam mengahadapi masalah yang bersifat syubhât tersebut. Sehubungan dengan itu, baru bisa diperbolehkan mempergunakan hal syubhât ketika keadaan sangat mendesak (hajjah).
Wacana tentang ekonomi Islam secara komprehensif muncul kembali pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1982 di Ujung Pandang diseleng-garakan sebuah pertemuan untuk menggagas kembali tentang ekonomi yang berbasis Syari`ah. Dalam pertemuan itu dilibatkan berbagai pakar, terutama pakar dalam bidang hukum Islam dan ilmu ekonomi. Sebagai hasilnya, dalam pertemuan itu umat Islam dapat menginventarisir berbagai potensi dalam upaya mengim-plementasikan ekonomi yang berbasis Syari`ah. Substansi ekonomi yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dielaborasi secara sistematis. Demikian pula dengan potensi umat yang bisa digali lebih jauh tidak luput dari kajian dalam pertemuan tersebut. Akhirnya, pertemuan ini merekomendasikan bahwa ekonomi berbasis Syari`ah sangat mungkin untuk diimplementasikan di Indonesia.
Pada tahun berikutnya, 1983, di Bandung pun diselenggarakan pula Seminar tentang Penelitian Sistem Ekonomi Islam. Dalam seminar ini tampaknya telah mampu merumuskan secara konseptual tentang sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam dibedakan secara tajam dengan sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis; bahkan, sistem ekonomi Islam bisa dijadikan sebagai alternatif bagi sistem ekonomi yang diproduk oleh pemikiran manusia. Selain itu, seminar ini pun telah mengelaborasi tentang potensi substantif dari Syari`ah yang bisa dikembangkan lebih lanjut dalam mengimplementasikan ekonomi yang berbasis Syari`ah. Materi yang paling dipandang penting dalam seminar ini adalah tentang konsep kepemilikan menurut sistem ekonomi Islam.
Setelah kajian ekonomi Islam di Ujung Pandang dan Bandung di atas, kajian ekonomi Islam sempat stagnan. Kalaupun muncul kajian, persoalan yang dibahas kembali lagi kepada persoalan klasik, seperti persoalan tentang hukum bunga bank. Misalnya, pada bulan Juni 1985 Majelis Pengkajian (Forum Studi) Majelis Ulama Tk I Sumatera Utara dan Yayasan Baitul Makmur Medan menyelenggarakan pengkajian tentang bank dan lembaga keuangan non-bank. Kajian itu kemudian menyimpulkan bahwa (1) perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non-bank adalah satu sub sistem dari sistem ekonomi dewasa ini yang sulit dapat dihindarkan; (2) riba yang sifatnya adh`afâ mudhâ`fah (berlipat ganda) adalah hukumnya haram, sesuai dengan nash yang shahih dari al-Qur’an dan al-Sunnah; dan (3) bunga bank adalah masalah yang masih berbeda pendapat para ulama; pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut: mengharamkan bunga bank karena menganggapnya sama dengan riba; membolehkan bunga bank karena menganggapnya tidak sama dengan riba, yang diharamkan oleh syari`at Islam; dan bunga bank adalah haram, tetapi karena belum ada jalan keluar untuk menghindarkannya, maka dibolehkan (karena dianggap darurat).
Wacana ekonomi Islam muncul kembali pada awal tahun 1990-an seiring dengan motivasi yang kuat umat Islam untuk mendirikan bank yang berbasis Syari`ah. Pada dekade ini, diskursus tentang ekonomi Islam dan upaya mengimplementasikannya mulai tampak. Memang, diskursus dan upaya implementasi ekonomi Syari`ah pada saat itu lebih difokuskan pada aspek Perbankan Syari`ah. Hal ini disebabkan karena persoalan perbankan Syari`ah tengah menjadi focus of interest dunia Islam, termasuk Indonesia. Walaupun demikian, Islamic economic content tetap menjadi bahasan; sebab, bagaimanapun perbankan Syari`ah merupakan bagian dari ekonomi Syari`ah secara integral.
Diskursus tentang bank Syari`ah ini diawali oleh lokakarya yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 19-22 Agustus 1990. Keputusan lokakarya tersebut dalam Bab II tentang Status Hukum Bungan Bank antara lain menyebutkan bahwa dengan melihat kenyataan hidup yang ada dan untuk menghindari kesulitan (masyaqah) karena sebagian umat Islam terlibat dengan sistem bunga bank, maka dapat dimungkinkan ditempuhnya rukhshah (penyimpangan) dari ketentuan baku, sepanjang demi kelanjutan pembangunan nasional. Ataupun secara khusus untuk mempertahankan kehidupan pribadi pada tingkat kecukupan (kifayah).
Hasil lokarkarya itu kemudian dibahas kembali secara mendalam dalam Munas V Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1990. Di akhir Munas itu, MUI merekomendasikan untuk segera mendirikan Bank Syari`ah di Indonesia. Rekomendasi MUI ini kemudian mendapatkan respon positif dari Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Kemudian MUI dan ICMI membentuk tim gabungan untuk mendirikan Bank Syari`ah. Hasilnya, pada tanggal 1 Nopember 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Pendirian BMI oleh MUI dan ICMI ini, dalam sejarah perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, merupakan langkah awal yang strategis bagi perkembangan institusi ekonomi Islam berikutnya. Sebab, sejak saat itu diskursus dan kajian tentang ekonomi Islam, terutama aspek lembaga keuangan Syari`ah, semakin semarak dan bergairah di berbagai kalangan umat Islam.

Tantangan Pengembangan Ekonomi Islam di Indonesia
Dalam upaya mengimplemetasikan sistem ekonomi Islam di Indonesia, bagaimanapun, akan dihadapkan pada berbagai tantangan. Bila dielaborasi, maka tantangan tersebut dapat di pilah kepada beberapa bentuk tantangan, yaitu:
1. Kondisi Politik
Tantangan kondisi politik berkait dengan kewenangan eksekutif dan legislatif dalam aspek kebijakan dan regulasi ekonomi; sebab, bagai-manapun, implementasi ekonomi Islam di Indonesia akan berkait dengan masalah kebijakan dan regulasi, sementara kebijakan dan regulasi sangat membutuhkan kedua institusi tersebut.
Menurut Umer Chapra, pada umumnya kondisi politik yang terjadi di negara-negara Muslim dewasa ini tidak cukup kondusif dan bahkan menjadi tembok penghalang bagi realisasi ekonomi Islam. Keadaan seperti ini tampaknya terjadi pula di Indonesia yang mayoritas penduduknya bera-gama Islam. Hal ini muncul, barangkali salah satu penyebabnya, karena para politisi yang tampil ke pentas politik lebih didominasi oleh para "nasionalis" atau "abangan" yang tidak memiliki concern terhadap pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia.
Sehubungan dengan itu, maka reformasi politik di negara-negara Muslim ini perlu untuk segera dilakukan. Pada gilirannya keadaan politik ini lebih berpihak pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Islam. Perubahan iklim politik ekonomi ini hendaknya dilakukan secara gradual atau bahkan kultural. Atau, menurut istilah Umer Chapra, reformasi politik ini hendaknya dilakukan secara damai dan mengedepankan Islam sebagai rahmah lil `alamin.
2. Kondisi Sosiologis
Tantangan kondisi sosiologis ini berkait erat dengan kesiapan masya-rakat dalam menerima ekonomi Islam untuk diimplementasikan. Hal ini muncul disebabkan karena sudah berabad-abad lamanya masyarakat Indonesia telah terbiasa dengan perilaku ekonomi konvensional. Bahkan, tidak sedikit umat Islam yang sangat memuja sistem ekonomi yang tumbuh dan berkembang di Barat. De-Islamisasi yang telah berlangsung berabad-abad ini ternyata telah menyebabkan kerangka pemikiran umat Islam menjadi stagnan dan apriori terhadap konsepsi ekonomi Islam. Atas dasar itulah, maka menurut Umer Chapra, tugas ilmu ekonomi Islam itu lebih luas dan jauh lebih sulit daripada ilmu ekonomi konvensional.
Kedaan seperti ini kemudian berimplikasi pada lemahnya pengetahuan dan pemahaman umat Islam akan ekonomi Islam. Bagaimana mungkin umat Islam itu dapat merealisasikan ekonomi Islam, bila pengetahuan dan pemahaman tentang hal itu juga masih lemah. Oleh karena itu, lemahnya pengetahuan dan pemahaman umat Islam tentang ekonomi Islam menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia.
3. Kondisi Ekonomi Masyarakat
Selain itu, tantangan lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperha-tikan adalah menurunnya tingkat ekonomi masyarakat Indonesia. Menurut Karnaen A. Perwataatmadja, keadaan seperti ini merupakan implikasi dari upaya sistematis penjajah Belanda untuk menterbelakangkan bangsa Indonesia. Dari mulai keterbatasan menuntut ilmu sampai pada pember-lakuan hukum secara diskriminatif telah menjadikan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia terbelakang dan dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Tampaknya setelah krisis moneter 1998 sampai saat ini perekonomian Indonesia belum juga menunjukkan kemajuan yang signifikan. Bahkan, angka kemiskinan semakin hari semakin meningkat, yang secara ekonomis tidak memungkinkan untuk melakukan investasi.
Selaras dengan itu, saat ini ekonomi umat Islam lebih banyak dio-rientasikan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif, sehingga sulit untuk dialokasikan untuk investasi. Padahal, sebagaimana dimaklumi bahwa dewasa ini, implementasi ekonomi Islam di Indonesia banyak berbentuk lembaga keuangan Syari`ah. Sementara pertumbuhan dan perkembangan lembaga keuangan Syari`ah, antara lain, sangat bergantung pada partisipasi masyarakat, terutama dalam menginvestasikan dananya. Kalau ternyata, kemampuan masyarakat untuk berinvestasi itu lemah, maka akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan lembaga-lembaga keuangan Syari`ah tersebut.

Inisiatif Strategis
1. Penguatan Sistem Ekonomi Islam
Gagasan tentag penguatan sistem ekonomi Islam ini tampaknya perlu dipertegas kembali. Hal ini mengingat, banyak kalangan yang meragukan keberadaan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem ekonomi. Dengan alasan, sebuah sistem ekonomi selain kuat dalam aspek konsep juga mesti tampak implementasinya dalam masyarakat luas. Menurut Mian M. Nazeer, sistem ekonomi merupakan sebuah refleksi tentang "bagaimana" dan "mengapa" fokus perjuangan manusia, dan ia berada dalam resolusi dan regulasi pertanyaan "bagaimana" dan "mengapa" tersebut, yang merupakan salah satu yang membedakan sebuah sistem ekonomi dari sistem ekonomi yang lain.
Secara bahasa, sistem berarti suatu keseluruhan yang kompleks: suatu susunan hal atau bagian yang saling berhubungan. Dengan kata lain, sistem berarti sebuah totalitas terpadu yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, saling terkait, saling mempengaruhi, dan saling tergantung menuju tujuan bersama tertentu. Dengan pengertian sistem ini, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan sistem ekonomi adalah susunan organisasi ekonomi yang mantap dan teratur. Dari pengertian ini pula, maka dapat dipahami bahwa ajaran Islam tentang ekonomi dapat dinyatakan sebagai sebuah sistem ekonomi. Hal ini disebabkan karena ajaran Islam tentang ekonomi adalah ajaran yang bersifat integral, yang tidak terpisahkan baik dengan ajaran Islam secara keseluruhan maupun dengan realitas kehidupan.
Selain itu, unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah sistem ekonomi telah terpenuhi oleh ajaran Islam. Unsur-unsur tersebut adalah: (1) sumber-sumber ekonomi atau faktor-faktor produksi yang terdapat dalam perekonomian tersebut; (2) motivasi dan perilaku pengambil keputusan atau pemain dalam sistem itu; (3) proses pengambilan keputusan; dan (4) lembaga-lembaga yang terdapat di dalamnya. Sebagai sebuah sistem ekonomi, maka yang membedakan antara sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi lain terletak pada dua aspek penting, yakni pemilikan atas faktor-faktor produksi dan metode alokasi faktor-faktor produksi terbut.
Dalam konteks tema yang diusung dalam makalah ini, maka upaya yang harus dilakukan dalam mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia adalah memperkuat secara teoritis tentang pemaknaan sistem ekonomi Islam itu sendiri. Di samping itu, juga perlu ada penguatan secara deskriptif tentang unsur-unsur yang mesti ada dalam sebuah sistem ekonomi dalam perspektif Islam. Menurut Monzer Kahf, untuk mengimplementasikan sistem ekonomi Islam, semua organ yang mendukung sturuktur sosial-politik perlu bekerja sama untuk meraih tujuan yang sama. Dengan begitu, maka pada gilirannya ekonomi Islam akan diakui dunia sebagai sebuah sistem ekonomi.
2. Penguatan Ilmu Ekonomi Islam
Inisiatif strategis ini sangat penting mengingat saat ini masih banyak kalangan yang meragukan eksistensi ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu. Keraguan ini, tentu saja, akan berimplikasi pada perkembangan ekonomi Islam itu sendiri. Ketika ekonomi Islam bisa dipandang sebagai sebuah ilmu, maka ia akan mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Sebab, salah satu indikator ilmu adalah berkembang.
Ekonomi Islam itu sendiri sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah ilmu karena ia merupakan pengetahuan yang telah disusun secara siste-matis. Selain itu, ekonomi Islam juga telah memenuhi unsur-unsur sebuah ilmu. Dalam perspektif filsafat ilmu, sebuah disiplin ilmu itu mesti memenuhi tiga unsur, yaitu ontologi (tentang apa?), epistimologi (tentang bagaimana?), dan aksiologi (tentang untuk apa?). Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu itu terdiri atas tiga unsur, yaitu unsur substansi, unsur informasi, dan unsur metodologi. Unsur substansi dikenal dengan subyek (material dan formal) atau subject matter suatu disiplin ilmu. Sedangkan unsur informasi merupakan isi tuturan pemahaman dan penjelasan yang bersifat abstrak tentang unsur substansi itu, baik yang dapat diamati (observable) dan diukur (measurrable) maupun yang tidak dapat diamati dan diukur. Semantara itu, unsur metodologi merupakan cara kerja yang "mengotak-ngatik" unsur substansi dan unsur informasi dengan menggunakan cara berpikir dan cara kerja tertentu, yang secara umum dikenal sebagai metode ilmiah.
Menurut Masudul Alam Choudhury, ontologi dan epistimologi ekonomi Islam didasarkan pada worldview yang berbeda. Ia merupakan doktrin yang revolusioner, yang sulit dikatagorikan kepada ilmu pengetahuan yang normal. Ia berbeda dan keluar dari garis normal berpikir. Berkait dengan masalah ini, Kuhn menulis, revolusi ilmiah di sini diambil untuk menjadi-kannya peristiwa perkembangan yang bukan kumulatif di mana sebuah paradigma yang lebih tua digantikan secara utuh atau pada sebagiannya oleh hal baru yang bertentangan.
Untuk unsur ontologi tampaknya telah dapat dipenuhi oleh ekonomi Islam mengingat materi ekonomi Islam telah banyak dibicarakan dan bahkan dituangkan dalam berbagai tulisan. Bahkan, belakangan materi ekonomi Islam ini telah ditulis secara sistematis, yang kadang-kadang sistematika pembahasan disesuaikan dengan sistematika pembahasan ekonomi konven-sional, yang terlebih dahulu mengalami perkembangan.
Persoalan ekonomi Islam, dalam perspektif filsafat ilmu, ini muncul pada saat mengidentifikasi unsur epistimologi atau metodologi. Persoalan ini mengemuka ketika menjawab pertanyaan: apakah ekonomi Islam telah memiliki metodologi yang mandiri? atau ekonomi Islam itu hanya sekedar mengadopsi metodologi yang dimiliki oleh ilmu ekonomi konvensional?
Berkait dengan metodologi ilmu ekonomi Islam, perlu diperjelas dahulu bahwa ilmu ekonomi Islam itu bisa diposisikan sebagai ilmu ekonomi normatif dan ilmu ekonomi positif. Ilmu normatif berarti bahwa ilmu ekonomi Islam mempersoalkan tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu, sedangkan ilmu positif berarti ilmu ekonomi Islam juga mempersoalkan tentang masalah ekonomi yang muncul dalam kehidupan masyarakat (Islam). Sehubungan dengan itu, maka metodologi yang dapat dikembang-kan dalam ilmu ekonomi Islam itu adalah metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif digunakan dalam ilmu ekonomi Islam normatif, sedangkan metode induktif digunakan dalam ilmu ekonomi Islam positif. Metode deduktif berarti bagaimana menurunkan nilai dan norma ekonomi yang termaktub dalam al-Qur'ân dan al-Sunnah dalam tatanan ekonomi umat, sedangkan metode induktif berarti membuat generalisasi kegiatan ekonomi umat yang kemudian dihubungan dengan al-Qur'ân dan al-Sunnah.
Dengan demikian, dalam pengembangan ekonomi Islam sebagai ilmu dapat digunakan dua metode, yaitu metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif digunakan untuk memahami substansi ekonomi yang tertuang dalam al-Qur'an, al-Sunnah, dan pendapat para fuqaha. Sedangkan metode induktif digunakan untuk membuat generalisasi dari berbagai peristiwa ekonomi yang terjadi di kalangan umat Islam. Metode kedua ini, dewasa ini, sangat mungkin dilakukan mengingat umat Islam telah mulai merealisir nilai dan norma ekonomi Islam, seperti perbankan, asuransi, serta lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi Islam lainnya.
Dalam unsur aksiologis, munculnya ekonomi Islam sebenarnya merupakan tuntutan yang logis. Demikian pula secara estetik, ekonomi Islam dapat menciptakan kehidupan yang harmonis, selaras, dan seimbang. Dalam kerangka yang sangat luas, ekonomi Islam dapat menjadi tuntutan etis untuk memperkecil ketidakadilan dan memperbesar kemakmuran bersama.
Secara logika, ekonomi Islam dapat menjadi ekonomi alternatif pada dikotomi antara ekonomi Kapitalis dan ekonomi Sosialis, yang pada saat bersamaan mulai dikritisi kelemahannya. Sedangkan secara estetik, ekonomi Islam telah melahirkan kekuatan ekonomi yang dapat menjaga keseim-bangan dan keselarasan sosial dalam harmoni kehidupan, pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan tidak merusak tatanan dan harmoni kehidupan semesta. Adapun secara etis, ekonomi Islam dibangun di atas landasan maqâshid al-syarî`ah, yakni hifzh al-dîn, hifzh al-nafs, hifzh al-nashl, hifzh al-`aql, dan hifzh al-mâl.
Dari uraian ini, maka dapat disimpulkan dalam upaya mengim-plementasikan sistem ekonomi Islam ke depan perlu dilakukan penguatan terhadap disiplin ilmu ekonomi Islam itu sendiri. Hal ini penting dilakukan, selain untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ekonomi Islam itu dapat dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu, juga merupakan salah satu variabel yang menentukan dalam mengimplementasikan sistem ekonomi Islam ke depan.
3. Akselerasi Sosialisasi Ekonomi Islam
Sosialisasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penyebarluasan ekonomi Islam – baik sebagai pengetahuan maupun sebagai sistem – kepada masyarakat luas, khususnya umat Islam. Strategi ini perlu dilakukan mengingat inti dari implementasi ekonomi Islam adalah bagaimana masyarakat bisa memahami dan merealisasikan ekonomi Islam itu. Tanpa pemahaman dan realisasi ini, maka ekonomi Islam menjadi "menara gading", yang membumbung di langit tanpa menapakan kakinya di bumi.
Hingga saat ini, memang, upaya sosialisasi ekonomi Islam sudah dan sedang dijalankan. Namun masalahnya, akselerasi dari sosialisasi itu masih dipandang kurang dan lambat. Indikatornya bahwa masih banyak masyarakat Islam yang belum paham dengan makna dan hakikat ekonomi Islam itu sendiri. Dalam konteks perbankan Syari`ah misalnya, tidak jarang muncul asumsi bahwa bank Syari`ah itu tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, atau muncul statemen bahwa kredit di bank Syari`ah jauh lebih memberatkan jika dibandingkan dengan kredit di bank Konvensional. Asumsi dan statemen ini merupakan indikator bahwa masyarakat Islam belum memahami betul tentang ekonomi Islam.
Lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan Syari`ah di Indonesia sudah sangat banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai tempat. Bahkan dewasa ini, hampir di setiap kecamatan telah ada Bank Perkreditan Rakyat Syari`ah (BPRS). Umat Islam tidak akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan lembaga ekonomi atau keuangan Syari`ah. Tetapi pertanyaannya adalah, mengapa partisipasi umat Islam terhadap lembaga ekonomi dan keuangan Syari`ah itu masih kurang? Maka jawabannya, sudah hampir bisa dipastikan karena umat Islam tidak paham dengan lembaga ekonomi atau keuangan Syari`ah itu.
Dari fenomena sosiologis seperti itu, maka upaya sosialisasi tentang ekonomi Islam ini perlu digalakan lagi dan lebih dipercepat. Ia mesti dilaksanakan secara integral dan komprehensif. Berbagai komponen umat Islam perlu mengambil peran aktif dalam sosialisasi ekonomi Islam, mulai dari cendekiawan, ulama, ustadz, mubaligh, bahkan eksekutif dan legis-latif. Ekspresi dan kegiatan yang mengeksplor ekonomi Islam menjadi sangat penting untuk digebyarkan. Bila ini semua telah dilakukan, maka pada gilirannya ekonomi Islam tidak lagi asing di telinga umat Islam, yang akhirnya mau mengimplementasikannya dalam perilaku ekonominya.
4. Perwujudan dalam Perilaku Ekonomi
Perilaku ekonomi (economic behavior) pada hakikatnya berkait dengan preferensi manusia dalam berpikir dan bertindak. Sedangkan preferensi manusia itu sendiri sangat bergantung nilai-nilai yang diyakininya, baik secara internal maupun secara eksternal. Sehubungan dengan itu, maka bentuk implementasi ekonomi Islam dalam perilaku ekonomi adalah bagaimana umat Islam menjadikan ekonomi Islam sebagai rujukan dalam berperilaku ekonominya. Bahkan bukan sekedar itu, ekonomi Islam juga menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan aktifitas dan sistem pere-konomian.
Secara sosiologis, bagaimana ekonomi Islam terinternalisasi dalam kehidupan umat Islam. Nilai dan prinsip yang termuat dalam ekonomi Islam mengikat secara ketat dalam perilaku ekonomi umat Islam. Dengan kata lain, nilai dan prinsip ekonomi Islam itu dapat mewarnai secara dominan dalam perilaku manusia pada semua jenis kegiatan ekonomi, seperti perilaku konsumsi, produksi, distribusi, dan kegiatan investasi lainnya.
Ketika ekonomi Islam telah terinternalisasi dalam perilaku ekonomi, maka implementasi ekonomi Islam akan menjadi sebuah kesadaran komunal. Dalam tataran aplikasinya, ia tidak perlu lagi ada tekanan atau paksaan dari pihak manapun. Implementasi ekonomi Islam akan muncul dengan sendirinya. Bila ini terjadi, maka sikap abivalen yang selama ini muncul di kalangan umat Islam akan lenyap dengan sendirinya.
5. Reformasi Politik
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kondisi poltik negara-negara Muslim tidak kondusif bagi pengembangan ekonomi Islam, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, upaya yang mesti dilakukan adalah reformasi politik yang dapat melahirkan keadaan politik yang kondusif bagi imple-mentasi ekonomi Islam. Dalam konteks ini, reformasi politik hendaknya diorientasi untuk menciptakan peran pemerintah sebagai mitra, katalisator, dan fasilitaor dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam sebagai bagian integral dari ajaran Islam.
Untuk masalah hubungan antara negara dan implementasi Islam ini, ada beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh ulama dan cendekiawan Muslim. al-Mawardi menekankan bahwa pemerintahan yang efektif mutlak diperlukan untuk mencegah kezhaliman dan ketidakadilan. Oleh karena itu, negara harus tetap melanjutkan misi Rasulallah Saw, baik urusan duania maupun akhirat. Selaras dengan ini, Ibn Taymiyah menyatakan bahwa Islam dan negara itu berhubungan erat dan masing-masing tidak dapat melakukan perannya secara efektif tanpa bantuan lainnya.
Sehubungan dengan itu, maka reformasi politik di Indonesia perlu dilakukan, sehingga kondisi politik – terutama peran eksekutif dan legislatif, lebih peduli pada pengembangan dan implementasi ekonomi Islam. Paling tidak, bagaimana eksekutif dan legislatif itu memiliki concern untuk mentransformasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip ekonomi Islam ke dalam ekonomi Indonesia.
Selain insiatif strategis di atas, dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia ini perlu dilakukan langkah-langkah praktis. Sehubungan dengan itu, maka dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia perlu dilakukan langkah-langkah praktis sebagai berikut: (1) mendirikan berbagai pusat studi ekonomi Islam; (2) mendirikan asosiasi atau organisasi ekonomi Muslim; (3) Menerbitkan julnal ilmiah ekonomi Islam; (4) memanfaatkan media masa sebagai lahan untuk mensosialisasikan ekonomi Islam; (5) merumuskan metodologi penelitian ekonomi Islam; (6) membuka program studi ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi; dan (7) penyelenggaraan forum ilmiah dan berbagai pelatihan ekonomi Islam.

Penutup
Dari uraian yang telah dideskripsikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi ekonomi Islam di Indonesia secara substantif telah muncul sejak Islam masuk ke Nusantara. Internalisasi dan institusionalisasi ekonomi Islam ini semakin tampak pada awal abad ke-20 sebagai bentuk perlawanan atas kebijakan politik ekonomi Belanda dan kompetisi perda-gangan orang Cina. Implementasi ekonomi Islam ini semakin berwujud pada tahun 1990-an, sekalipun lebih diarahkan pada pembentukan lembaga-lembaga keuangan Syari`ah.
Dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia akan berhadapan dengan beberapa tantangan, di antaranya adalah lemahnya kondusifitas politik, lemahnya pengetahuan dan pemahaman umat Islam tentang ekonomi Islam, serta kondisi ekonomi masyarakat Indonesia semakin terpuruk dan tak kunjung membaik. Selain itu, dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia ini perlu dirumuskan inisiatif strategis sebagai berikut: penguatan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem ekonomi dan sebagai ilmu ekonomi, akselerasi sosialisasi ekonomi Islam, upaya perwujudan ekonomi Islam dalam perilaku ekonomi masyarakat, serta melakukan reformasi politik ekonomi di Indonesia.
Wallahu A`lam.


DAFTAR PUSTAKA


Ali Sakti. 2007. Analisis Teoritis Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern. Jakarta: Paradigma & AQSA-Publishing.
Badri Yatim. 1997. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Logos.
Castles, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan.
Chapra, M. Umer. 1997. Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil. Terjemahan oleh Lukman Hakim. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
----------. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam. Terjemehan oleh Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Gema Insani Press.
Choudhury, Mausudul Alam. 1986. "The Micro-Economic Foundations of Islamic Economics: A Study in Social Economics" in The American Journal of Islamic Social Scoence (AJISS), 2/1986.
----------. 2005. "Islamic Economics and Finance: Where Do They Stand?", dalam International Conference on Islamic Economics and Finance. Islamic Economics and Banking in The 21st Century. Jakarta: International Conference on Islamic Economics and Finance.
Dawam Rahardjo, M. 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Jujun S. Soeriasoemantri. 1985. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Kahf, Monzer. 1995. Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Machnun Husein. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
----------. 2005. "Islamic Economics System – A Review" in Syed Omar Syed Agil and Aidit Ghazali (Ed.). Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics. Kuala Lumpur: CERT Publications.
Karnaen A. Perwataatmadja. 1996. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. Depok: Usaha Kami.
Kuhn, T. S. 1970. The Structure of Scientific Revolution. Chicago, IL: University of Chicago.
Lapidus, Ira M. 1988. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press.
Lubis, Ibrahim. 1995. Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Jakarta: Kalam Mulia.
Mannan, M. A. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi islam. Terjemahan oleh M. Nastangin. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Mawardi, Ali bin Muhammad al-. t.t. al-Ahkam al-Sulthaniyah. Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi.
Mohammad Daud Ali. 1988. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: UI Press.
Muhammad Azhar. 2000. "Beberapa Peluang Pengembangan Ekonomi Islam" dalam Amien Abdullah, dkk. Meretas Jalan Baru Ekonomi Muhammadiyah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Nazeer, Mian M. 1980. "The Framework of an Islamic Economic System", in M. Nawaz Khan (Ed.). Economic System of Islam. Karachi: National Bank of Pakistan.
Tanjung, Hendri. 2005. "Akselerasi Sosialisasi Bisnis Syari`ah" dalam Wan Andy, dkk (Peny.). Prospek Bank Syari`ah Pasca Fatwa MUI. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Taufiq Abdullah (Ed.). 1991. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.