Senin, 08 Maret 2010

Ekis sebagai Ilmu

EKONOMI ISLAM SEBAGAI ILMU

 Yadi Janwari

Pendahuluan
Diskursus tentang ekonomi Islam (atau biasa pula diistilahkan dengan ekonomi Syari`ah) merupakan tema yang aktual dan menarik untuk ditindaklanjuti. Hal ini mengingat Ekonomi Islam masih dipandang sebagai "wajah baru" dalam khazanah pemikiran umat Islam, tetapi menunjukkan perkembangan yang sangat fenomenal. Sejak beberapa abad lamanya, persoalan umat Islam hanya berkutat sekitar fiqh dan persoalan politik. Sementara persoalan ekonomi Islam diduga baru muncul sekitar pertengahan abad ke-20 M. Barangkali, inilah sebabnya, mengapa persoalan ekonomi Islam itu masih terasa asing di telinga umat Islam.
Dalam perkembangan dewasa ini, ekonomi Islam telah mendapatkan perhatian yang sangat serius dari berbagai kalangan di Indonesia, baik kalangan intelektual maupun masyarakat luas. Hal ini dibuktikan dengan semakin semaraknya diskursus tentang persoalan tersebut. Ada dua alasan kuat, mengapa ekonomi Islam menjadi tema menarik saat ini. Pertama, ekonomi Islam dipandang sebagai "barang baru", yang dalam sejarah Islam sempat terlupakan. Kedua, kehadiran institusi ekonomi yang dibangun di atas landasan Islam telah berkembang dengan sangat fenomenal: dalam tempo yang sangat singkat (sekitar 10-15 tahun) telah berdiri ratusan atau bahkan ribuan lembaga ekonomi dan lembaga keuangan Islam. Ketiga, sistem ekonomi yang ada saat ini, sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis dipandang memiliki kelemahan terutama dalam menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.
Kajian ekonomi Islam ini tampaknya telah mewarnai pemikiran umat Islam, sekalipun masih terbatas pada kalangan tertentu. Pengembangan ekonomi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu telah mulai dirintis; dan bahkan, di beberapa Perguruan Tinggi ekonomi Islam telah dijadikan sebagai sebuah program studi, baik di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) maupun di lingkungan Perguruan Tinggi Umum (PTU). Namun demikian, sekalipun pemikiran dan bahkan aplikasi ekonomi Islam itu telah mengalami perkembangan yang signifikan, tetapi masih ditemukan asumsi yang menyatakan bahwa ekonomi Islam belum bisa dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Bahkan, yang lebih ekstrim, ada asumsi yang menyatakan bahwa ekonomi Islam tidak bisa dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang mapan, sebab ia hanya bernuansakan nilai dan norma.
Namun, di tengah perkembangannya yang sangat fenomenal itu, dalam kajian ilmiah dan akademik muncul pertanyaan besar: apakah ekonomi Islam itu bisa dipandang sebagai sebuah ilmu?, yang kemudian bisa diimplementasikan dalam sebuah disiplin ilmu. Pertanyaan ini, menurut penulis, perlu untuk dijawab dan dijelaskan bahwa ekonomi Islam dewasa ini dapat dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu. Atas dasar inilah, maka makalah ini kemudian ditulis.
Dalam pembahasannya, sebelum menjawab pada pokok persoalan, di awal tulisan akan dideskripsikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ilmu itu sendiri. Setelah itu, kemudian akan dideskripsikan tentang ilmu ekonomi. Dan, pada akhirnya akan dijelaskan tentang keberadaan ilmu ekonomi Islam. Dengan sistematika seperti ini, diharapkan ada kejelasan mengenai posisi ekonomi Islam sebagai ilmu.

Pemaknaan Ilmu
Menurut Rosenthal, mendefinisikan sesuatu atau objek ilmu pengetahuan sama artinya dengan melibatkan diri dalam usaha intelektual. Ia merupakan suatu usaha yang sangat dihargai oleh semua aliran pemikiran Islam kecuali oleh segelintir individu. Namun demikian, pengecualian ini bukan diarahkan pada pentingnya usaha pendefinisian suatu istilah atau konsep, melainkan lebih pada penekanan yang berlebihan terhadap logika yang dianggap satu-satunya disiplin ilmu tentang persoalan definisi (Rosenthal, 1977: 46).
Secara bahasa, `ilm diambil dari perkataan `alamah yang berarti tanda atau petunjuk, yang dengannya sesuatu atau seseorang dapat dikenali. Sehubungan dengan ini, `ilm dalam Islam sering disamaartikan dengan ayah, sehingga ilmu dalam Islam bersumber dari al-Qur'an yang terdiri dari ayat-ayat. Sedangkan dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan science, yang sinonim dengan episteme dalam bahasa Yunani (Jujun S. Suriasumantri, 1985: 324). Sehubungan dengan itu, maka dalam perpektif filsafat ilmu, dibedakan antara pengetahuan (knowledge) dengan ilmu (science). Perbedaan tersebut terletak dalam cakupannya: ilmu merupakan bagian dari pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang memiliki karakteristik tertentu. Dengan kata lain, ilmu adalah sekumpulan pengetahuan yang sistematis melalui metode ilmiah.
Banyak definisi ilmu yang dikemukakan oleh para ilmuan. Sebagai acuan umum, berikut akan dikemukakan beberapa definisi tentang ilmu tersebut. Secara sederhana, "The Oxford Pocket English Dictionary" sebagai dikutif M. A. Mannan menyebutkan bahwa ilmu bisa diartikan sebagai "pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis" atau "suatu wadah pengetahuan yang terorganisasi mengenai dunia fisik, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa" (Mannan, 1993: 15). Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan pada hakikatnya adalah segenap apa yang dikatahui tentang suatu objek tertentu (Jujun S. Suriasumantri, 1985: 324). Sedangkan, menurut Mulyadi Kartanegara, ilmu adalah any organized knowledge (Mulyadi Kartanegara, 2003: 1).
Dari beberapa definisi ini, maka dapat dipahami bahwa pada intinya ilmu adalah sebagian pengetahuan yang memiliki ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematis, rasional, empiris, universal, objektif, dapat dikur, terbuka, dan komulatif. Namun demikian, menurut Mulyadi Kartanegara, objek ilmu itu tidak mesti selalu empiris karena realitas itu tidak hanya yang empiris bahkan yang tidak empiris lebih luas (Mulyadi Kartanegara, 2003: 43).

Pemaknaan Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi adalah satu bidang studi yang berbicara tentang bagaimana manusia melakukan berbagai cara dalam mengorganisasikan kegiatan konsumsi dan produksi (Samuelson dan Nordhaus, 1985: 1). Selaras dengan pengertian ini, Eduian Mansfield mengartikan ekonomi dengan kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi (Mansfield, 1970: 1). Dalam dua definisi ini dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi diposisikan sebagai sebuah bidang studi (atau program studi) yang bisa jadi ekonomi telah dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu. Selain itu, dari definisi ini pun dapat ditangkap mengenai substansi ilmu ekonomi, yakni upaya manusia dalam mengkoordinir kegiatan konsumsi dan produksi. Hal ini mengandung makna bahwa aktifitas ekonomi manusia menjadi subjek kajian utama dalam ilmu ekonomi. Pengertian ini diperkuat oleh David C. Colander yang menyatakan bahwa ekonomi adalah studi tentang bagaimana manusia mengkoordinasikan keinginan dan hasratnya, memberikan mekanisme pengambilan keputusan, tradisi sosial, dan realita politik masyarakat (Colander, 2004: 5).
Agak berbeda sedikit dengan pengertian itu, Lord Robbins menjelaskan bahwa yang menjadi fokus utama ilmu ekonomi adalah perilaku manusia dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan yang mengandung persoalan pemilihan sumber-sumber yang diperlukan (Robins, 1962: 24). Dengan pengertian ini, semakin mempertegas bahwa ilmu ekonomi merupakan bagian dari ilmu sosial, karena perilaku manusia sebagai objek kajiannya. Hal inilah yang kemudian dinyatakan oleh Mc Kenzie dan Tullock bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari pola-pola perilaku manusia (McKenzie and Tullock, 1978: 6).
Terlepas dari definisi-definisi itu, Dawan Rahardjo mengetengahkan beberapa elemen masalah yang menjadi perhatian para ahli ekonomi, yaitu: (1) kegiatan yang dilakukan oleh orang seorang dan masyarakat dalam produksi, distribusi atau pertukaran, dan konsumsi; (2) pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa atau kebutuhan hidup; (3) keharusan untuk memilih alternatif, baik dalam menentukan berbagai tujuan, maupun dalam menggunakan sumber-sumber, yang mengandung berbagai alternatif; dan (4) terdapatnya sumber-sumber pemenuhan kebutuhan yang dianggap terbatas (Dawam Rahardjo, 1990: 112).
Dari deskripsi di atas, maka dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi pada intinya adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia. Perilaku tersebut mencakup aspek produksi, distribusi, dan konsumsi. Aspek-aspek tersebut kemudian dikoordinir agar kebutuhan hidup manusia bisa dipenuhi dengan cara memperdayakan berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.

Ilmu Ekonomi Islam
Berdasarkan pemaknaan ilmu dan ilmu ekonomi di atas, maka dapat diasumsikan bahwa ekonomi Islam dapat dipandang sebagai sebuah pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya informasi tentang ekonomi Islam. Telah banyak definisi, objek kajian dan ruang lingkup serta pembahasan tentang ekonomi Islam yang telah dikedepankan. Bahkan, informasi tentang ekonomi Islam ini telah menyajikan materi tentang ekonomi makro dan ekonomi mikro dalam perspektif Islam. Hal ini dapat disaksikan dalam berbagai literatur ekonomi Islam, yang jumlahnya sudah mencapai ratusan bahkan ribuan judul.
Persoalan berikutnya, apakah pengetahuan ekonomi Islam itu telah dirumuskan secara sistematis?, sehingga ia bisa dikatagorikan sebagai sebuah ilmu. Pada awal tradisi penulisan ajaran Islam dimulai, masalah ekonomi Islam belum ditulis secara khusus dan sistematis. Substansi ekonomi Islam dituangkan dalam literatur fiqh, khususnya fiqh al-mu`âmalah dan fih al-siyâsâh (al-mâliyah). Ekonomi Islam yang dituangkan dalam fiqh al-mu`âmalah merupakan ekonomi Islam yang mengatur interaksi kegiatan ekonomi antara individu dengan individu, individu dengan badan usaha, atau antara badan usaha dengan badan usaha. Sedangkan ekonomi Islam yang dituangkan dalam fih al-siyâsâh (al-mâliyah) adalah ketika ekonomi dipandang sebagai sebuah produk kebijakan penguasa. Pada masa ini, ekonomi Islam belum bisa dipandang sebagai sebuah ilmu, karena penulisan dan pembahasannya belum dirumuskan secara sistematis. Oleh karena itu, ekonomi Islam pada saat ini hanya bisa dinyatakan sebagai sekumpulan pengetahuan.
Penulisan dan pembahasan ekonomi Islam secara sistematis bisa jadi telah dimulai sejak era pasca ulama madzhab. Hal ini disebabkan ada asumsi yang menyatakan bahwa yang ditulis dan dibahas ulama madzhab adalah masalah fiqh dalam makna yang komprehensif. Dalam literatur yang ditulis ulama madzhab itu belum ditemukan bahasan khusus tentang iqtishâd (ekonomi). Penulisan dan pembahasan ekonomi Islam diasumsikan muncul pada periode taqlîd, yang dalam târîkh tasyrî` muncul sekitar pertengahan abad ke-7 H. Secara aspektual, memang pemikiran tentang ekonomi Islam sempat muncul pada masa ulama madzhab ini. Misalnya, pemikiran ekonomi Islam yang dikemukakan oleh Zayd bin Ali (80-120 H), Abu Yusuf (112-182 H), dan Abu `Ubayd al-Qashim bin Sallam (157-224 H). Penulisan dan pembahasan ekonomi Islam ini secara lebih komprehensif muncul pada era Ibn Taymiyah, yakni sekitar pertengahan abad ke-7 H.
Kalau begitu, lalu apa yang dimaksud dengan ilmu ekonomi Islam itu? Menurut M. A. Mannan, ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam (Mannan, 1993: 19). Dari definisi ini dapat dipahami bahwa ilmu ekonomi Islam merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial, yang substansinya digali dari perilaku ekonomi umat manusia, khususnya umat Islam. Namun, sekalipun ilmu ekonomi Islam itu digali dari perilaku ekonomi umat, ia tidak terlepas dari tuntunan nilai-nilai Islam. Hal ini berarti bahwa semua perilaku ekonomi umat itu kemudian diakomodir sebagai sumber dari ilmu ekonomi Islam apabila perilaku ekonomi itu bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Sunnah. Hampir senapas dengan pengertian ini, Hasanuz Zaman mengartikan ekonomi Islam dengan ilmu dan aplikasi perintah serta aturan-aturan Syari`ah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber daya material sebagai sarana memuaskan keinginan manusia, sehingga memungkinkan dirinya untuk menunaikan kewajibannya kepada Allah dan Masyarakat (Hasanuz Zaman, 1404 H.: 51-53).
Sedangkan Akram Khan mendefinisikan ekonomi Islam dengan sebuah studi mengenai bagaimana manusia berusaha untuk memperoleh kebahagiaan (falah) dengan cara mendayagunakan sumber-sumber daya yang ada di bumi berdasarkan pada kerja sama dan partisipasi (Akram Khan, 1404 H.: 55-61). Selaras dengan pengertian ini, Muhammad Arif mendefinisikan ekonomi Islam dengan ilmu yang mempelajari perilaku Muslim dalam mengorganisasikan sumber daya sebagai amanah untuk memperoleh kebahagiaan (falah) (Muhammad Arif, 1984: 87-104). Pengertian ini tampaknya mengakomodir pengertian ilmu ekonomi yang dikemukakan oleh para ekonom Barat. Bandingkan, misalnya, pengertian ini dengan pengertian ilmu ekonomi yang dikemukakan oleh Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus di atas. Oleh karena itu, inti dari ilmu ekonomi adalah upaya mengorganisir sumber daya untuk meraih satu tujuan, yaitu kebahagiaan.
Selain ekonomi Islam dipandang sebagai ilmu karena telah disusun secara sistematis, juga ia telah memenuhi unsur-unsur sebuah ilmu. Dalam perspektif filsafat ilmu, sebuah disiplin ilmu itu mesti memenuhi tiga unsur, yaitu ontologi (tentang apa?), epistimologi (tentang bagaimana?), dan aksiologi (tentang untuk apa?). Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu itu terdiri atas tiga unsur, yaitu unsur substansi, unsur informasi, dan unsur metodologi (Jujun S. Suriasumantri, 1985: 42-43). Unsur substansi dikenal dengan subyek (material dan formal) atau subject matter suatu disiplin ilmu. Sedangkan unsur informasi merupakan isi tuturan pemahaman dan penjelasan yang bersifat abstrak tentang unsur substansi itu, baik yang dapat diamati (observable) dan diukur (measurrable) maupun yang tidak dapat diamati dan diukur. Semantara itu, unsur metodologi merupakan cara kerja yang "mengotak-ngatik" unsur substansi dan unsur informasi dengan menggunakan cara berpikir dan cara kerja tertentu, yang secara umum dikenal sebagai metode ilmiah, kemudian berkembang menjadi metode penelitian.
Untuk unsur ontologi tampaknya telah dapat dipenuhi oleh ekonomi Islam mengingat materi ekonomi Islam telah banyak dibicarakan dan bahkan dituangkan dalam berbagai tulisan. Bahkan, belakangan materi ekonomi Islam ini telah ditulis secara sistematis, yang kadang-kadang sistematika pembahasannya disesuaikan dengan sistematika pembahasan ekonomi konvensional, yang telah lebih dahulu mengalami perkembangan.
Persoalan ekonomi Islam, dalam perspektif filsafat ilmu, ini muncul pada saat mengidentifikasi unsur epistimologi atau metodologi. Persoalan ini mengemuka ketika menjawab pertanyaan: apakah ekonomi Islam telah memiliki metodologi yang mandiri? atau ekonomi Islam itu hanya sekedar mengadopsi metodologi yang dimiliki oleh ilmu ekonomi konvensional?
Berkait dengan metodologi ilmu ekonomi Islam, perlu diperjelas dahulu bahwa ilmu ekonomi Islam itu bisa diposisikan sebagai ilmu ekonomi normatif dan ilmu ekonomi positif. Ilmu ekonomi normatif berarti bahwa ilmu ekonomi Islam mempersoalkan tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu, sedangkan ilmu ekonomi positif berarti ilmu ekonomi Islam juga mempersoalkan tentang masalah ekonomi yang muncul dalam kehidupan masyarakat (Islam). Sehubungan dengan itu, maka ada dua metodologi utama yang dapat dikembangkan dalam ilmu ekonomi Islam, yaitu metode deduktif dan metode induktif (Kahf, 1995: 12). Metode deduktif – metode istinbathi, digunakan dalam ilmu ekonomi Islam normatif, sedangkan metode induktif – metode istiqra'i, digunakan dalam ilmu ekonomi Islam positif. Metode deduktif berarti bagaimana menurunkan nilai dan norma ekonomi yang termaktub dalam al-Qur'an dan al-Sunnah dalam tatanan ekonomi umat, sedangkan metode induktif berarti membuat generalisasi kegiatan ekonomi umat yang kemudian dihubungkan dengan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Dengan demikian, dalam pengembangan ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu dapat digunakan dua metode, yaitu metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif digunakan untuk memahami substansi ekonomi yang tertuang dalam al-Qur'an, al-Sunnah, dan pendapat para fuqaha. Sedangkan metode induktif digunakan untuk membuat generalisasi dari berbagai peristiwa ekonomi yang terjadi di kalangan umat Islam. Metode kedua ini, dewasa ini, sangat mungkin dilakukan mengingat umat Islam telah mulai merealisir nilai dan norma ekonomi Islam, seperti perbankan, asuransi, serta lembaga-lembaga keuangan dan praktek ekonomi Islam lainnya.
Menurut Monzer Kahf (1995: 12), pada mulanya metode deduktif dikembangkan oleh para ahli hukum Islam (fuqaha). Metode ini dapat digunakan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah. Sedangkan metode induksi (restropektif) banyak digunakan oleh para penulis Muslim kontemporer dengan cara merumuskan solusi alternatif dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi umat kontemporer dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan Petunjuk Tuhan.
Dalam unsur aksiologis, munculnya ekonomi Islam sebenarnya merupakan tuntutan yang logis. Demikian pula secara estetik, ekonomi Islam dapat menciptakan kehidupan yang harmonis, selaras, dan seimbang. Dalam kerangka yang sangat luas, ekonomi Islam dapat menjadi tuntutan etis untuk memperkecil ketidakadilan dan memperbesar kemakmuran bersama.
Secara logika, ekonomi Islam dapat menjadi ekonomi alternatif pada dikotomi antara ekonomi Kapitalis dan ekonomi Sosialis, yang pada saat bersamaan mulai dikritisi kelemahannya. Sedangkan secara estetik, ekonomi Islam telah melahirkan kekuatan ekonomi yang dapat menjaga keseimbangan dan keselarasan sosial dalam harmoni kehidupan, pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan tidak merusak tatanan dan harmoni kehidupan semesta. Adapun secara etis, ekonomi Islam dibangun di atas landasan maqâshid al-syarî`ah, yakni hifzh al-dîn, hifzh al-nafs, hifzh al-nashl, hifzh al-`aql, dan hifzh al-mâl.
Dengan deskripsi ini, maka dapat dipastikan bahwa ekonomi Islam telah memenuhi unsur-unsur sebuah ilmu, yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Dengan begitu, bahasan ini menjadi penguat pada status ekonomi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu.

Ekonomi Islam sebagai Disiplin Ilmu
Untuk mengawali pembahasan ini, tampaknya perlu mereduksi terlebih dahulu pemikiran Alparslan Acikgence tentang tahapan pembentukan sebuah disiplin ilmu. Menurut Alparslan Acikgence, ada tiga tahap bagi terbentuknya sebuah disiplin ilmu, yaitu:
1. Tahap problematik (problematic stage), yaitu tahap di mana berbagai problem subyek kajian dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian tertentu. Tahap ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
2. Tahap disipliner (disciplinary stage), yaitu tahap di mana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah sepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan ditentukan sesuai dengan bidang masing-masing.
3. Tahap penanaman (naming stage), yaitu tahap pemberian nama pada materi dan metode yang telah dirumuskan pada tahap kedua (Acikgence, 1996: 68).
Tahapan ini bisa digunakan untuk menganalisis proses atau sejarah pembentukan ekonomi Islam menjadi sebuah disiplin ilmu.
Pada tahap pertama, yakni problematic stage telah berlangsung pada awal perkembangan ekonomi Islam, di mana ekonomi Islam dikaji dan dibahas secara parsial dan masuk pada subjek bahasan ilmu lain. Ekonomi Islam banyak disinggung secara parsial dalam bidang fiqh, terutama dalam fiqh al-mu`amalah dan fiqh al-siyasah al-maliyyah. Pada tahapan ini, pembahasan ekonomi Islam sering diintegrasikan dengan pembahasan hukum Islam, terutama fiqh al-mu`amalah. Bahkan, sempat muncul anggapan bahwa ekonomi Islam identik dengan fiqh al-mu`amalah.
Pembahasan ekonomi Islam masuk dalam kitab al-Umm dan al-I`tisham karya al-Syafi`i, al-mudawwanah al-kubra' karya Imam Malik, dan kitab-kitab fiqh lainnya. Bila dihubungkan dengan tarik al-tasyri` (sejarah hukum Islam), maka bisa jadi masa ini berlangsung pada periode imam mujtahid. Saat ini masalah fiqh merupakan focus of interest utama, sehingga sulit ditemukan literatur yang membahas secara khusus tentang ekonomi Islam.
Pada tahap kedua, disciplinary stage, masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah sepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan tertentu sesuai dengan bidang masing-masing. Spesialisasi ekonomi Islam telah menjadi ciri utama pada tahap ini. Pembahasan ekonomi Islam tidak lagi dibahas secara terpadu dengan bidang ilmu lain, seperti fiqh al-mu`amalah dan fiqh al-siyasah al-maliyyah; tetapi, ekonomi Islam disajikan secara mendalam dan mandiri.
Pada fase ini mulai muncul penulisan buku yang substansinya secara spesifik berbicara tentang ekonomi Islam. Misalnya, Abu Yusuf (w. 182 H) menulis al-Kharaj, al-Syaibani (w. 198 H) menulis al-Kasb, Abu Ubayd (w. 224 H) menulis al-Amwal, dan Yahya bin Umar (w. 289 H) menulis al-Ahkam al-Suq. Pemikiran ekonomi Islam ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh intelektual Muslim pada abad pertengahan, seperti Ibn Hazm (w. 1064 H), Nizham al-Mulk (w. 1093 H), Ibn Taymiyah (w. 1328 H), dan Ibn Khaldun (w. 1404 H.).
Dewasa ini, penulisan dan pembahasan ekonomi Islam semakin spesifik dan terspesialisasi sedemikian rupa dengan intensitas yang sangat tinggi. Tokoh populer pada tahap ini adalah Muhammad Baqir al-Shadr, M. Umer Chapra, M. A. Mannan, Nejatullah Siddiqi, Timur Kuran, dan Muhammad Arif. Muhammad Baqir al-Shadr menulis sebuah buku yang monumental, yakni buku Iqtishaduna (ekonomi kita), yang berusaha menyusun teori-teori baru dengan mendeduksi ekonomi Islam dari al-Qur'an dan al-Sunnah, serta membuang teori-teori yang muncul dalam ekonomi konvensional. Dalam perkembangan berikutnya, pemikiran Muhammad Baqir al-Shadr ini diikuti oleh Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasani, dan Kadim al-Shadr, yang kemudian lahir menjadi madzhab tersendiri dalam aliran pemikiran ekonomi Islam.
M. Umer Chapra telah menulis satu buku yang dapat mendeskripsikan tentang hakikat ekonomi Islam, yaitu buku the Future of Economic: an Islamic Perspective. M. A. Mannan menulis buku Islamic Economic: Theory and Practice yang sangat monumental tentang ilmu ekonomi Islam mengingat bahasan mencakup aspek ontologi, epistiomologi, dan aksiologi. Sedangkan Nejatullah Siddiqi menulis buku Islamic Economic Though: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought. Ketiga pemikir ini menjelaskan bahwa mengembangkan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan teori-teori yang dihasilkan oleh ekonom konvensional. Teori-teori itu dapat diakomodir sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang termuat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
Selain literatur yang telah dikemukakan di atas, tentu saja masih banyak buku-buku ekonomi Islam lain yang telah ditulis oleh para ekonom Muslim. Namun, dari beberapa literatur itu dapat dipahami bahwa pemikiran ekonomi Islam itu dapat diklasifikasi menjadi tiga aliran pemikiran. Pertama, aliran pemikiran yang berusaha menyusun teori-teori baru dengan mendeduksi ekonomi Islam dari al-Qur'an dan al-Sunnah, serta membuang teori-teori yang muncul dalam ekonomi konvensional. Aliran pemikiran ekonomi ini dimotori oleh Muhammad Baqir al-Shadr. Kedua, aliran yang menyatakan bahwa dalam mengembangkan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan teori-teori yang dihasilkan oleh ekonom konvensional dan teori-teori itu dapat diakomodir sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang termuat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Aliran ini dimotori oleh M. Umer Chapra, M. A. Mannan, dan Nejatullah Siddiqi. Ketiga, aliran yang menyatakan bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Islam pasti benar, tetapi ekonomi islam belum tentu benar karena ekonomi Islam adalah hasil tafsiran manusia atas al-Qur'an dan al-Sunnah. Aliran pemikiran ini dimotori oleh Timur Kuran dan Muhammad Arif.
Sedangkan pada tahap yang terakhir, naming stage, yaitu tahap pemberian nama pada materi dan metode yang telah dirumuskan pada tahap kedua. Pada tahap ini muncul beberapa konsep sebagai nama dari disiplin ilmu ekonomi Islam. Namun, nama yang paling populer adalah nama ekonomi Islam (Islamic economics) dan ekonomi Syari`ah (Syari`a ekonomics).
Secara formal disiplin ilmu ini lahir pada Konferensi Internasional I tentang Ekonomi Islam yang diselenggarakan di Mekah tahun 1976 (Arif Hoetoro, 2007: 157). Diskursus tentang ekonomi Islam terus berlanjut, bukan hanya di kalangan akademisi dan kaum intelektual Muslim, tetapi juga melibatkan masyarakat luas. Bahkan, pada tahun 1980-an ekonomi Islam mulai diimplementasikan di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Ekonomi Islam ini mengalami perkembangan yang lebih signifikan lagi setelah Organisasi Konferensi Islam (OKI) mendirikan dua universitas khusus yang mendalami disiplin ilmu ekonomi Islam. Kedua universitas tersebut adalah Internasional Islamic University of Islamabad (IIUI) di Pakistan tahun 1981 dan Internasional Islamic University of Malaysia (IIUM) di Malaysia tahun 1983. Progres ini kemudian ditindaklanjuti OKI dengan mendirikan Centre for Research in Islamic Economics of King Abdulaziz University dan Islamic Research and Training Institute (IRTI) yang diprakarsai oleh Islamic Development Bank (IDB).
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam sejarah perkembangannya, ekonomi Islam telah melalui tahapan bagi lahirnya sebuah disiplin ilmu, mulai dari problematic stage, disciplinary stage sampai kepada naming stage. Ketiga tahapan itu dilalui ekonomi secara spesifik dan valid, sehingga perkembangannya telah memenuhi unsur scientific history.

Kesimpulan
Dari deskripsi tentang ekonomi Islam sebagai ilmu di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, ekonomi Islam dapat dikatagorikan sebagai sebuah ilmu; bahkan, ia bukan lagi merupakan sekedar pengetahuan. Hal ini disebabkan karena indikator dan unsur ilmu telah terpenuhi oleh ekonomi Islam. Indikatornya, berbagai informasi tentang ilmu ekonomi Islam telah tersebar di berbagai literatur; dan bahkan, pengetahuan tersebut telah dirumuskan secara sistematis.
Kedua, ekonomi Islam telah memenuhi tiga unsur filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Unsur ontologi ekonomi Islam berkait dengan substansi dan informasi ekonomi Islam itu sendiri sebagai sebuah pengetahuan. Unsur metodologi, yang secara umum terdiri dari metode deduktif (istibathi) dan metode induktif (istiqra'i). Sedangkan unsur aksiologi terpenuhi ketika ekonomi Islam dapat memenuhi kebutuhan umat, yakni sebagai solusi bagi terselesaikannya berbagai masalah ekonomi umat.
Ketiga, dalam sejarah perkembangannya, ekonomi Islam telah memenuhi tahapan bagi lahirnya sebuah disiplin ilmu. Pada problematic stage pemikiran ekonomi Islam masih terintegrasi dengan disiplin ilmu lain, terutama dengan bidang kajian fiqh. Pada disciplinary stage, pemikiran ekonomi Islam mulai ditulis secara spesifik oleh para ekonom muslim dan tidak terintegrasi lagi dengan bidang kajian lain. Pada naming stage, konsep yang muncul ke permukaan adalah Islamic Economic dan Syari`a Economic, yang dalam bahasa Arab sering disebut dengan Iqtishadiyyah.
Wallahu A`lam.


BAHAN BACAAN

Achmad Ramzy Tadjoeddin, dkk. 1992. Berbagai Aspek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana dan P3EI UII.
Adiwarman Azwar Karim. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Afzalur Rahman. 1996. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Ahmad, Khursyid. 1980. Studies in Islamic Economics. Leicester: The Islamic Foundation.
Ahmad Syaefuddin, A. 1984. Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Samudra.
Akram Khan. 1983. "Islamic Economics, Nature and Need", dalam Journal for Research in Islamic Economics. Vol. 1. No. 2.1404. Jeddah, King Abdulaziz University. Halaman 55-61.
Arif Hoetoro. 2007. Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: BPFE Unibraw.
`Assal, Ahmad Muhammad al- dan Abdul Karim, Fathi Ahmad. 1980. Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya. Terjemahan oleh Abu Ahmadi dan Anshori Umar Sitanggal. Surabaya: Bina Ilmu.
`Awdah, `Abd al-Qâdir. 1977. al-Mâl wa al-Hukm fî al-Islâm. Kairo: al-Mukhtâr al-Islâmî.
Colander, David C. 2004. Economics. New York: McGraw-Hill,
Eko Suprayitno. 2005. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Euis Amalia. 2007. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer. Jakarta, Granada Press.
Hasan Aedy. 2007. Indahnya Ekonomi Islam. Bandung: Alfabeta.
Hasanuz Zaman. 1983. "Definition of Islamic Economics", dalam Journal for Research in Islamic Economics. Vol. 1. No. 2.1404. Jeddah, King Abdulaziz University. Halaman 51-53.
Ibâzah, Ibrâhîm Dasûqî. 1973. al-Iqtishâd al-Islâmî: Muqawwimatuh wa Minhâjuh. Kairo: Dâr al-Sha`b.
Jujun S. Suriasumantri. 1985. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kahf, Monzer. 1995. Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Machnun Husein. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Karnaen A. Perwataatmadja. 1996. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. Depok: Usaha Kami.
Mannan, M. A. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi islam. Terjemahan oleh M. Nastangin. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Mansfield, Eduian. 1970. Microeconomics. New York: W.W. Norton and Co.
Maududi, Sayyid Abû al-A`la. 1977. Capitalism, Socialism, and Islam. Kuwait: Islamic Book Publishers.
----------. 1978. Dasar-Dasar Ekonomi dalam Islam. Terjemahan oleh Abdullah Suhaili. Bandung: Al-Ma`arif.
Moh. Daud Ali. 1988. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: UI Press.
Muhammad. 2007. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muhammad Arif. 1984. "Toward a Definition of Islamic Economics", dalam Journal for Research in Islamic Economics. Vol. 2. No. 2.1405. Jeddah, King Abdulaziz University. Halaman 87-103.
Mustafa Edwin Nasution, dkk. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
Robbins, Lord. An Essay on the Nature and Significance of Economic Science. New York: MacMillan & Co.Ltd., 1962.
Samuelson, Paul A. dan Nordhaus, William D. Economic. New York: McGraw-Hill Book Company, 1985.
Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1970. Some Aspects of the Islamic Economy. Lahore: Islamic Publications.
Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. 1985. Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam. Terjemahan oleh Anshari Umar Sitanggal. Bandung: Al-Ma`arif.
Syafruddin Prawiranegara. 1967. Apa yang Dimaksud dengan Ekonomi Islam. Jakarta: Publica.
Umer Chapra, M. 1997. al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil. Terjemahan oleh Lukman Hakim. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Yusuf Qardhawi. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin. Jakarta: Gema Insani Press.
Zainal Abidin Ahmad. 1979. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar