Senin, 08 Maret 2010

LKS di Indonesia

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
Oleh Yadi Janwari

A. Pendahuluan
Secara ril, wacana ekonomi Syariah di Indonesia muncul pada awal tahun 1990-an seiring dengan motivasi yang kuat umat Islam untuk mendirikan bank Syariah. Pada dekade ini, diskursus tentang ekonomi Syariah dan upaya mewujudkannya mulai tampak. Diskursus dan upaya implementasi ekonomi Syariah pada saat ini lebih difokuskan pada institusi perbankan Syariah, karena persoalan perbankan Syariah tengah menjadi focus of interest dunia Islam, termasuk Indonesia (Wouters, 2008: 2). Walaupun demikian, Islamic economic content tetap menjadi bahasan; sebab, bagaimanapun perbankan Syariah merupakan bagian integral dari ekonomi Syariah.
Kehadiran institusi perbankan Syariah ini, bagaimanapun, dapat dipandang sebagai langkah awal yang strategis bagi perkembangan institusi ekonomi Syariah berikutnya, sebab setelah itu semakin bermunculan institusi-institusi ekonomi yang berbasis Syariah (Wouters, 2008: 4). Pada saat yang hampir bersamaan dengan perbankan Syariah, berdiri pula beberapa Baitul Mal wa Tamwil dan kemudian pada tahun 1994 berdiri pula institusi asuransi Syariah. Belakangan didirikan pula beberapa institusi keuangan Syariah lainnya, seperti Unit Simpan Syariah, Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren), dan Reksadana Syariah.
Deskripsi itu menunjukkan bahwa institusionalisasi ekonomi Syariah di Indonesia telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Namun belakangan, institusi ekonomi Syariah ini lebih terfokus pada lembaga-lembaga keuangan Syariah. Hal ini menunjukkan adanya fenomena ekonomi yang menarik, di mana institusionalisasi ekonomi Syariah lebih terlembagakan dalam bentuk lembaga keuangan Syariah (Kahf, 2002: 1). Bahkan, belakangan muncul asumsi bahwa pembicaraan ekonomi Syariah lebih identik dengan lembaga keuangan Syariah, khususnya perbankan Syariah.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa institusionalisi ekonomi Syariah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan. Namun, institusionalisasi tersebut lebih terfokus pada institusi keuangan semata, tanpa dibarengi dengan perkembangan institusi ekonomi Syariah lainnya. Sehubungan dengan itu, masalah utama dalam makalah ini adalah proses pembentukan institusi lembaga-lembaga keuangan Syariah.

B. Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga keuangan Syariah ini merupakan suatu badan usaha atau institusi yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset-aset keuangan (financial assets) maupun non-financial assets atau aset riil berlandaskan konsep Syariah. Lembaga keuangan Syariah ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lembaga keuangan depositori Syariah (depository financial institution Syariah) yang disebut dengan lembaga keuangan bank Syariah dan lembaga keuangan Syariah non depository (non depository financial institution Syariah) yang disebut dengan lembaga keuangan Syariah bukan bank (Karsten, 1982: 108-148).
Lembaga keuangan Syariah bukan bank itu sendiri dapat dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu lembaga kontraktual (Syariah contractual institutions), lembaga keuangan investasi Syariah (Syariah investment institution), dan lembaga keuangan yang tidak termasuk ke dalam Syariah contractual institutions dan Syariah investment institution. Lembaga kontraktual (contractual institutions) adalah lembaga keuangan yang menarik dana dari masyarakat dengan menawarkan dana untuk memproteksi penabung terhadap resiko ketidakpastian, misalnya perusahaan asuransi Syariah dan dana pensiun Syariah. Lembaga keuangan investasi Syariah (Syariah investment institution) adalah lembaga keuangan Syariah yang kegiatannya melakukan investasi di pasar uang Syariah dan pasar modal Syariah, misalnya reksadana Syariah. Sedangkan yang termasuk ke dalam lembaga keuangan yang tidak termasuk ke dalam contractual institutions dan Syariah investment institution adalah pegadaian Syariah, Baitul Mal wat Tamwil, Unit Simpan Pinjam Syariah, koperasi pesantren, perusahaan modal ventura Syariah (venture capital), dan perusahaan pembiayaan Syariah (Syariah finance company) yang menawarkan jasa sewa guna usaha (leasing), kartu kredit, pembiayaan konsumen, dan anjak piutang (Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, 2008: 6).
Lembaga keuangan dalam dunia keuangan bertindak selaku lembaga yang menyediakan jasa keuangan bagi nasabahnya, dimana pada umumnya lembaga ini diatur oleh regulasi keuangan dari pemerintah. Bentuk umum dari lembaga keuangan ini adalah termasuk perbankan, building society (sejenis koperasi di Inggris), credit union, pialang saham, aset manajemen, modal ventura, koperasi, asuransi, dana pensiun dan bisnis serupa. Dengan demikian, signifikansi lembaga keuangan adalah penyedia jasa sebagai perantara antara pemilik modal dan pasar utang yang bertanggung jawab dalam penyaluran dana dari investor kepada perusahaan yang membutuhkan dana tersebut (Behrens, 1995: vi).
Dengan kata lain, lembaga keuangan Syariah berfungsi untuk memperlancar mekanisme ekonomi di sektor ril melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip Syariah. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara lembaga keuangan Syariah dengan nasabah untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai Syariah yang bersifat makro maupun mikro (Ascarya, 2007: 30).
Kehadiran lembaga keuangan inilah yang memfasilitasi arus peredaran uang dalam perekonomian, di mana uang dari individu investor dikumpulkan dalam bentuk tabungan sehingga risiko dari para investor ini beralih pada lembaga keuangan yang kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pinjaman utang kepada yang membutuhkan. Ini merupakan tujuan utama dari lembaga penyimpan dana untuk menghasilkan pendapatan. Dengan demikian, lembaga keuangan berfungsi sebagai perantara keuangan (financial intermediation), yakni proses penyaluran dana yang surplus (lender-savers) dari unit ekonomi untuk disalurkan kepada yang defisit dana (borrower-spenders) dari unit ekonomi lain.
Peran intermediasi lembaga keuangan Syariah dilakukan dengan cara membeli sekuritas primer (saham Syariah, obligasi Syariah, dan yang lainnya) yang diterbitkan oleh unit defisit, dan dalam waktu yang sama lembaga keuangan mengeluarkan sekuritas sekunder (giro wadi`ah, tabungan wadi`ah, mudharabah, deposito berjangka mudharabah, reksadana Syariah, dan yang lainnya) kepada unit surplus (Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, 2008: 8-9).
Sebagai lembaga intermediasi, lembaga keuangan Syariah memiliki peran strategis, antara lain, sebagai berikut:
1. Pengalihan aset (asset transmutation), yaitu lembaga keuangan Syariah memberikan pinjaman kepada pihak yang membutuhkan dalam dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Pengalihan aset ini dapat pula dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah dalam bentuk menerbitkan sekuritas sekunder yang diterbitkan oleh unit defisit.
2. Likuiditas (liqidity), yaitu kemampuan lembaga keuangan Syariah dalam memperoleh uang tunai pada saat yang dibutuhkan.
3. Relokasi pendapatan (income rellocation), yaitu peran lembaga keuangan Syariah dalam merelokasikan pendapatan nasabah untuk persiapan menghadapi waktu yang akan datang.
4. Transaksi (transaction), yaitu lembaga keuangan Syariah memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang dan jasa.
5. Efisiensi (efficiency), yaitu lembaga keuangan Syariah dapat menurunkan biaya transaksi dengan jangkauan pelayanan dan juga memperlancar serta mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan.
Selain signifikansi lembaga keuangan Syariah secara umum di atas, masing-masing jenis lembaga keuangan Syariah memiliki signifikansi dan fungsi yang spesifik. Bank Syariah memiliki signifikansi dan fungsi yang khas, yang berbeda dengan lembaga keuangan Syariah lain. Demikian pula dengan Baitul Mal wat Tamwil memiliki signifikansi dan fungsi yang khas, yang berbeda dengan lembaga keuangan Syariah lain. Demikian seterusnya, di mana jenis lembaga keuangan Syariah memiliki signifikansi dan fungsi yang khas, yang berbeda dengan lembaga keuangan Syariah yang lainnya.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan adalah institusi yang kegiatan utamanya mengumpulkan dana dari masyarakat (nasabah) dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat (nasabah). Bila dibuatkan bagan, maka dapat dilihat pada gambar berikut:








Dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa fungsi utama lembaga keuangan adalah sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang kelebihan dana (lender-savers) dengan pihak yang kekuarangan dana (borrower-spenders).

C. Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
Di Indonesia, secara ril lembaga keuangan Syariah ini mulai berdiri dan tumbuh pada tahun 1990-an. Untuk pertama kalinya, lembaga keuangan Syariah yang muncul adalah institusi perbankan yang kemudian diikuti oleh institusi keuangan Syariah lainnya. Secara umum, lembaga keuangan Syariah yang muncul di Indonesia mengadopsi atau mengkonvergensi dengan institusi keuangan yang lebih dulu muncul di ekonomi konvensional. Bila di keuangan konvensional ditemukan institusi bank, asuransi, gadai, lembaga pembiayaan, reksa dana, dan obligasi, maka dalam keuangan Syariah kemudian muncul bank Syariah, asuransi Syariah, gadai Syariah, lembaga pembiayaan Syariah, reksa dana Syariah, dan obligasi Syariah.
Di Indonesia institutusionalisasi keuangan Syariah sudah muncul sejak awal tahun 1990-an. Kalau diruntut berdasarkan urutan waktu pendiriannmya, maka institusi keuangan Syariah yang pertama kali muncul adalah lembaga keuangan Perbankan, yang kemudian disusul oleh institusi-institusi keuangan Syariah non-bank lainnya, seperti Baitul Mal wa Tamwil, asuransi Syariah, Unit Simpan Pinjam Syariah, Reksadana Syariah, dan beberapa lembaga pengembang keuangan swadaya masyarakat lainnya.
Masing-masing perkembangan dari lembaga-lembaga keuangan Syariah itu dapat dirinci pada uraian berikut.
1. Perbankan Syariah
Pertama-tama institusi keuangan Syariah yang diimplementasikan oleh umat Islam Indonesia adalah institusi perbankan. Perbankan yang pertama kali didirikan adalah jenis Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi Bank Umum Syariah. Bank Perkreditan Syariah yang pertama kali didirikan adalah BPR Berkah Amal Sejahtera di Padalarang (Bandung), BPR Dana Mardhatilla di Kopo Sayati (Bandung), dan BPR Amanah Rabbaniah di Banjaran (Bandung) pada tahun 1991.
Pendirian BPRS ini telah menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini terbukti dengan semakin banyak BPRS didirikan oleh umat Islam. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang sangat pesat dalam mendirikan BPRS. Pada tahun yang hampir bersamaan, di Jawa Barat telah berdiri sekitar 11 BPRS, yakni BPRS Mentari di Garut, BPR Amanah Ummah di Leuwiliang Bogor, BPR Arta Sakinah di Cianjur, BPR Bina Amwalul Hasanah di Lima Bogor, BPR Artha Karimah di Tanggerang, BPR Intiraqqat di Ciputat, BPR Uswatun Hasanah di Bekasi, BPR Baiturridha di Cimindi, BPR Dana Tijarah di Cimahi, BPR Mukarramah di Lembang, dan BPR Babussalam di Majalaya. Setelah di Jawa Barat kemudian berdiri pula beberapa BPRS di propinsi lain, misalnya BPR Berkah Gema Dana di Banjarmasin, BPR Ikhwatul Ummah di Maros Ujung Pandang, dan BPR Hareukat di Lambaro Aceh.
Pendirian beberapa BPRS ini tampaknya merupakan langkah awal dalam upaya institusionalisasi keuangan Syariah di Indonesia. Perkembangan selanjutnya, institusi perbankan ini dikembangkan lebih lanjut dalam jenis Bank Umum. Masih pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 1 Nopember 1991, di Indonesia berdiri Bank Umum Syariah (BUS) yang pertama yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI). Bank umum BMI ini dapat dikatagorikan kepada Islamic Commercial Banking (ICB) karena BMI didirikan secara khusus menggunakan prinsip Syariah. Jenis ICB ini kemudian diikuti oleh Bank Syariah Mandiri (BSM) pada tahun 1999 dan Bank Syariah Mega Indonesia BSMI) pada tahun 2004.
Belakangan pendirian bank umum ini diikuti pula oleh beberapa bank konvensional, seperti BNI, BRI, dan BPD. Bank konvensional ini menjadikan bank umum Syariah sebagai salah satu unit usahanya. Oleh karena itu, jenis bank umum ini diistilahkan dengan Islamic Banking Unit (IBU), yakni bank umum konvensional yang membuka unit usaha Syariah. Unit usaha Syariah ini didirikan oleh bank umum konvensional sebagai unit usaha di Kantor Pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari seluruh Kantor Cabang Syariah. Hingga saat ini telah tercatat sebanyak 26 Islamic Banking Unit.
Pada saat yang bersamaan perkembangan perbankan Syariah pun tumbuh pada jenis Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Hingga saat ini tercatat telah ada 114 buah Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang tersebar di seluruh Indonesia. Secara kelembagaan keadaan perbankan Syariah di Indonesia itu dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1
Perkembangan Jumlah Kantor Bank Syariah Tahun 2002 – 2007

Tahun Kelompok Bank
BUS UUS BPRS Layanan Sy.
2002 2 6 83 -
2003 2 8 84 -
2004 3 15 88 -
2005 3 19 92 -
2006 3 20 105 456
2007 3 26 114 1.195
Sumber: Laporan Pengawasan Bank Indonesia 2007.
2. Baitul Mal wa Tamwil
Institusionalisasi Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di Indonesia hampir bersamaan pula dengan institusionalisasi perbankan Syariah. Hal ini mengingat fungsi awal BMT adalah untuk mengkafer berbagai potensi keuangan umat yang belum terberdayakan oleh institusi perbankan Syariah, terutama potensi keuangan umat yang berada di wilayah pedesaan atau komunitas umat tertentu. Oleh karena perbankan Syariah belum bisa mencakup pemberdayaan potensi keuangan umat secara keseluruhan, maka kehadiran BMT tetap menjadi signifikan.
Institusionalisasi BMT di Indonesia didasarkan pada undang-undang tentang Perbankan. Perujukan hukum kepada undang-undang perbankan ini mengingat prinsip operasional dan mekanisme kerja yang dikembangkan BMT tidak berbeda dengan yang digunakan oleh perbankan Syariah. Perbedaannya, bila perbankan Syariah dibangun di atas fondasi kapital yang besar dengan daya jangkau yang luas, sementara BMT dibangun di atas fondasi kapital yang sedikit dengan daya jangkau yang terbatas. Oleh karena itu, pendirian BMT banyak dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Pertumbuhan BMT di Indonesia tidak terlepas dari peranan Yayasan Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (YINBUK) dan Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK). Pada awal tahun 1990-an, institusi ini mencanangkan program Gerakan 1000 BMT. Sebagai implikasinya, maka di beberapa daerah banyak didirikan BMT. Di Jawa Barat saja misalnya, telah didirikan lebih dari 600 BMT yang tersebar di berbagai wilayah.
Namun ternyata perkembangan BMT tidak semulus perkembangan perbankan Syariah. Indikatornya, tidak sedikit BMT yang telah didirikan itu harus gulung tikar dan kemudian mati. Menurut Engkos Sadrah, BMT menjadi collapse karena di dalam tubuh BMT masih ditemukan banyak kelemahan. Di antara kelemahan yang telah diidentifikasi umumnya berkisar dalam sumber daya manusia, manajemen, fasilitas, servis, dan permodalan. Akibatnya dari kelemahan ini, kalaupun BMT itu tidak mati perkembangannya berjalan secara gradual. Oleh karena itu, eksistensi BMT kurang begitu dirasakan oleh masyarakat luas.
3. Asuransi Syariah
Gagasan dan pemikiran tentang institusionalisasi asuransi Syariah di Indonesia sebenarnya telah muncul sejak lama dan pemikiran tersebut lebih menguat pada saat diresmikannya operasi Bank Muamalat Indonesia tahun 1991. Pada mulanya gagasan awal institusionalisasi asuransi Syariah ini muncul dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa. Steakholders lain yang terlibat dalam mewujudkan institusionalisasi asuransi Syariah ini adalah PT Abdi Bangsa, PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Asuransi Tugu Mandiri.
Untuk mewujudkan gagasan institusionalisasi asuransi Syariah ini, maka pada tanggal 27 Juli 1993 ICMI bersama dengan PT Abdi Bangsa, PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Asuransi Tugu Mandiri mendirikan Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). TEPATI inilah yang kemudian menjadi perumus dan perealisir institusionalisasi asuransi Syariah di Indonesia. Sebagai implementasinya, maka pada 25 Agustus 1994 berdirilah Asuransi Takaful Indonesia dengan izin operasional dari Departemen Keuangan melalui Surat Keputusan Nomor: Kep-385/KMK.017/1994 tanggal 4 Agustus 1994.
Institusionalisasi asuransi Syariah ini dalam perjalanannya menunjukkan perkembangan yang signifikan. Hal ini antara lain dibuktikan dengan semakin menyebarnya cabang asuransi Syariah di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, respon umat Islam terhadap institusionalisasi asuransi Syariah ini pun sangat kondusif, terutama pada jenis asuransi keluarga. Menurut Purwanto Abdulcadir, prospek positif institusi asuransi Syariah ini disebabkan karena faktor indogenous dan faktor exogenous. Faktor indogenous berkait dengan kemakmuran, tingkat pendapatan, gaya hidup, selera, adapt dan budaya (tradisi), bahkan keyakinan agama. Sedangkan faktor exogenous kredibilitas dan akuntabilitas asuransi Syariah, serta aturan yang kondusif bagi pengembangan asuransi Syariah itu sendiri.
Dengan demikian, institusi asuransi Syariah di Indonesia memiliki prospek potensi dan peluang untuk dikembangkan lebih lanjut. Namun demikian, dalam upaya pengembangan institusi asuransi Syariah ini akan dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama tantangan dari optimalisasi asuransi Syariah itu sendiri maupun dari pihak dunia asuransi konvensional. Persaingan di antara asuransi (Syariah dan Konvensional) akan semakin tampak pada era globalisasi, di mana perusahaan asuransi yang besar akan menjadi superior atas perusahaan asuransi yang masih kecil.
4. Unit Simpan Pinjam Syariah
Institusi Syariah berikutnya yang didirikan umat Islam di Indonesia adalah institusi simpan pinjam Syariah. Institusi ini secara kelembagaan biasa disebut dengan Unit Simpan Pinjam Syariah (USPS). Pada mulanya, institusi ini didirikan pada kumunitas yang berbasis pondok pesantren; tetapi belakang, institusi ini pun berkembang pula dalam komunitas umat Islam di luar pesantren, terutama masyarakat di sekitar masjid. Pendirian USPS di pondok pesantren didasarkan pada pemikiran bahwa secara kwantitatif pondok pesantren memiliki potensi yang besar untuk diberdayakan. Hingga tahun 1995 misalnya, jumlah pondok pesantren di Indonesia tercatat sebanyak 8.528 buah dengan jumlah santri sebanyak 1,9 juta orang. Seluruh komponen pondok pesantren – kyai, ustadz, santri, dan masyarakat di sekitar pesantren – merupakan aset yang sangat potensial bagi pengembangan lembaga keuangan yang mekanismenya mengacu pada Syariah.
Oleh karena USPS didirikan di atas basis pondok pesantren, maka pada perjalanannya peranan Induk Koperasi Pondok Pesantren (Inkopontren) dan Pusat Koperasi Pondok Pesantren (Puskopontren) menjadi sangat strategis. Sehingga pada gilirannya, pengembangan USPS di pesantren bergantung pada mobilitas dari Puskopontren dan Inkopontren tersebut. Sebab kedua institusi ini – Inkopontren dan Puskopontren – berperan sebagai media dan penggerak dalam memobilisasi berbagai potensi keuangan yang dimiliki oleh pondok pesantren.
Dengan demikian, institusi simpan pinjam ini pada mulanya berbentuk Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren). Tetapi, ia kemudian berkembang pula di lingkungan masjid yang memiliki banyak jama`ah. Bahkan, sekarang institusi unit simpan pinjam pun dikembangkan dalam komunitas tertentu, seperti instansi pemerintah atau perusahaan.
5. Reksadana Syariah
Dalam keuangan konvensional, reksadan bergerak pasa modaldalam bidang pasar modal telah muncul sejak tahun 1977. Investasi melalui reksadana ini semakin hari semakin meningkat dan tumbuh subur, terutama sejak tahun 1996, seiring dengan pencanangan Bappepam sebagai tahun reksadana di Indonesia.
Sedangkan institusi reksadana Syariah di Indonesia secara ril berdiri pada 12 Juni 1997, yang keberadaannya diresmikan oleh Bapepam. Reksadana Syariah yang didirikan ini berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Untuk pertama kalinya, pendirian institusi reksadana Syariah ini direalisasikan atas kerja sama antara PT Danareksa Fund Management sebagai manajer investasi dengan Citibank N. A. Jakarta sebagai bank custodian.
Institusionalisasi Reksadana Syariah di Indonesia dilanjutkan dengan Lokakarya Alim Ulama tentang Reksadana Syariah yang diselenggarakan oleh MUI bekerja sama dengan BMI pada tanggal 29-30 Juli 1997. Lokarkaya ini antara lain merekomendasikan dan memperkuat agar umat Islam dapat mengimplementasikan institusi reksadana yang berbasis Syariah. Rekomendasi ini muncul mengingat hasil studi menunjukkan bahwa dalam reksadana yang saat ini ada disinyalir masih mengandung hal-hal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Misalnya, investasi reksadana pada produk-produk yang diharamkan dalam Islam, seperti minuman keras, judi, pornografi, dan jasa keuangan non Syariah. Selain itu, mekanisme transaksi antara investor dengan reksadana dan antara reksadana dengan emiten (pemilik perusahaan) harus diklasifikasi menurut hukum Islam.
6. Inkopontren
Induk Koperasi Pondok Pesantren (Inkopontren) didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil RI Nomor 003/BH/M.I/XII/1994 tentang Pengesahan Akta Pendirian Koperasi tanggal 7 Desember 1994. Pendirian Inkopontren ini didasarkan pada pemikiran bahwa jumlah alumni pesantren semakin hari semakin banyak dan sekitar 2 juta santri sedang aktif belajar di seluruh Indonesia. Hal ini merupakan potensi besar yang bisa diberdayakan secara keuangans, terutama dalam aspek sumber daya manusia.
Sebagai institusi keuangan yang berbasis Syariah berfungsi untuk membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan keuangan anggota dan masyarakat umum guna meningkatkan kesejahteraan keuangan dan sosial. Atas dasar fungsi itu, maka Inkopontren berperan: (1) meningkatkan dan mempertinggi kwalitas kehidupan manusia dan masyarakat; (2) memperkokoh perkeuanganan rakyat sebagai dasar kekuatan ketahanan keuangan nasional dan koperasi sebagai soko gurunya; dan (3) berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perkeuanganan nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi keuangan.
Sebagai pengembangan lebih lanjut dari Inkopontren ini, maka di beberapa wilayah telah didirikan Pusat Koperasi Pondok Pesantren (Puskopontren) sebagai anggota Inkopontren yang merupakan koperasi skunder tingkat propinsi yang beranggotakan Kopontren. Pada awal pendiriannya saja telah didirikan tujuh Puskopontren, yaitu Puskopontren Jawa Timur, Puskopontren Lampung, Puskopontren NTB, Puskopontren DI Yogyakarta, Puskopontren Jawa Barat, Puskopontren Jawa Tengah, dan Puskopontren DKI Jakarta. Sebagai kelanjutannya, maka saat ini pun telah didirikan beberapa Kopontren yang berlokasi di ponok-pondok pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
7. PINBUK
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dibentuk oleh Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK) pada tanggal 13 Maret 1995. Hingga saat ini di seluruh propinsi di Indonesia telah terbentuk PINBUK Propinsi; dan bahkan, mayoritas kabupaten dan kota di propinsi-propinsi tersebut pun telah didirikan pula PINBUK Kabupaten atau Kota.
PINBUK bukan institusi keuangan Syariah atau institusi yang menyelenggarakan kegiatan keuangan; tetapi, ia merupakan lembaga pengembang keuangan swadaya masyarakat (LPESM). Sebagai LPESM, maka PINBUK memiliki fungsi sebagai berikut: (1) mensupervisi dan membina teknis, administrasi, pembukuan, dan financial BMT-BMT yang terbentuk; (2) mengembangkan sumber daya manusia dengan melakukan inkubasi bisnis pengusaha baru dan penyuburan pengusaha yang ada; (3) mengembangkan teknologi maju untuk para nasabah BMT sehingga meningkat nilai tambahnya; (4) memberikan penyuluhan dan latihan; (5) melakukan promosi, pemasaran hasil dan mengembangkan jaringan perdagangan usaha kecil; dan (6) memfasilitasi alat-alat yang tak mampu dimiliki oleh pengusaha kecil secara perorangan, seperti fax alat-alat promosi dan alat-alat pendukung lainnya.
Seiring dengan fungsinya itu, maka saat ini ditemukan beberapa BMT yang didirikan oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM); selain, tentu saja, BMT yang didirikan oleh koperasi. Otoritas PINBUK dalam pendirian BMT hanyalah BMT yang didirikan oleh KSM, sedangkan BMT yang didirikan oleh koperasi kewenangannya berada pada pihak Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil.
8. Pasar Modal Syariah
Pasal modal Syariah (Islamic stock exchange) adalah kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan efek Syariah perusahaan public yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga profesi yang berkaitan dengannya, di mana semua produk dan mekanisme operasionalnya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Lembaga keuangan Syariah ini untuk pertama kalinya muncul dilatarbelakangi oleh terbitnya reksadana Syariah pada 25 Juni 1997, yang kemudian diiukti dengan terbitnya obligasi Syariah pada akhir 2002.
Perkembangan pasar modal Syariah semakin signifikan setelah pada 3 Juli 2000 muncul Jakarta Islamic Index (JII). Namun, secara formal, pasar modal dengan prinsip-prinsip Syariah ini baru diluncurkan pada Maret 2003, yang ditandai dengan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang dilanjutkan dengan MoU antara DSN-MUI dengan Self Regulatory Organization (SRO).
9. Obligasi Syariah
Obligasi Syariah atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip Syariah. SBSN ini telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 pada 7 Mei 2008. Berdasarkan sosialisasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang diselenggarakan oleh Departemen Keuangan RI pada 29 Mei 2008, untuk pertama kalinya penerbitan SBSN akan ditujukan untuk membiayai APBN secara umum (general purpose financing) dengan menggunakan jenis akad ijarah (sale & lease back). Dengan akad ini pemerintah menjual hak manfaat Barang Milik Negara (BMN) yang sudah ada (dapat berupa tanah dan/atau bangunan) kepada investor melalui perantara Special Purpose Vehicle (SPV), lalu menyewa kembali hak manfaat BMN tersebut dari investor terkait.
Untuk memperlancar penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), maka Pemerintah membentuk Perusahaan Penerbit SBSN. Pendirian perusahaan ini dibentuk berdasarkan atas 2 Peraturan Pemerintah (PP) yakni PP Nomor 56 Tahun 2008 tentang Perusahaan Penerbit SBSN dan PP Nomor 57 Tahun 2008 tentang Pendirian Perusahaan Penerbit SBSN. Perusahaan Penerbit SBSN ini berwenang untuk menerbitkan SBSN, mengelola proyek dalam hal penerbitan SBSN, mengelola dan menatausahakan aset SBSN untuk kepentingan pemegang sukuk serta kegiatan lainnya.
Sebenarnya, di Indonesia ini perkembangan sukuk sudah dimulai sejak 2002 dengan penerbitan Obligasi Syariah Mudharabah Indosat sebesar Rp 200 miliar. Hingga saat ini, penerbitan sukuk korporasi di Indonesia terus berkembang pesat. Selama periode Januari sampai dengan Juli 2008, penerbitan sukuk korporasi telah mencapai 12,5% dari total penerbitan obligasi korporasi atau sebesar Rp 1,62 triliun. Jumlah ini telah melebihi total penerbitan sukuk selama tahun 2007 yang sebesar Rp 1,03 triliun.
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa saat ini di Indonesia telah berdiri beberapa lembaga keuangan Syariah, baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bank telah berdiri 3 Bank Umum, 26 Unit Usaha Syariah, dan 114 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Sedangkan lembaga keuangan bukan bank lebih bervariasi lagi, yaitu Baitul Mal wa Tamwil, Asuransi Syariah, Unit Simpan Pinjam Syariah, Reksadana Syariah, Induk Koperasi Pondok Pesantren, Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil, Pasar Modal Syariah, Obligasi Syariah, dan Sukuk.

D. Upaya Sosialisasi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia
Masalah paling krusial yang dihadapi lembaga keuangan Syariah dewasa ini adalah masalah sosialisasi, terutama sosialisasi produk lembaga keuangan Syariah. Sosialisasi ini dianggap sebagai masalah karena pemahaman masyarakat tentang produk lembaga keuangan Syariah masih rendah, yang ditandai dengan masih rendahnya masyarakat dalam berpartisipasi terhadap lembaga keuangan Syariah. Bahkan, karena informasi pengetahuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan lembaga keuangan Syariah dengan lembaga keuangan konvensional secara mikro dan sempit. Jika masyarakat masih menganggap sama lembaga keuangan Syariah dengan lembaga keuangan konvensional, itu berarti bahwa masyarakat belum faham tentang ilmu moneter Syariah, dan ekonomi makro Syariah tentang interest, dampaknya terhadap inflasi, produksi, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank Syariah.
Isu sentral yang sering didengar adalah bahwa pemahaman masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk lembaga keuangan Syariah sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara lembaga keuangan Syariah dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam lembaga keuangan Syariah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar.
Dengan demikian, upaya sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah atau steakholders yang lainnya masih sangat rendah. Sehubungan dengan itu, maka agar lembaga keuangan Syariah dapat dikenal dan bahkan survive dalam masyarakat maka upaya sosialisasi ini perlu terus ditingkatkan. Banyak cara dan media yang dapat dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah dalam mensosialisasikan dirinya, antara lain melalui dakwah lewat majelis taklim, media massa cetak atau elektronik, buletin, majalah, buku, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Intensitas upaya sosialisasi melalui media masa (cetak atau elektronik), buletin, dan buku sudah cukup banyak dilakukan. Hanya saja, akses masyarakat terhadap media masa dan buku itu relatif rendah, sehingga tetap saja masyarakat tidak banyak tahu tentang lembaga keuangan Syariah.
Intensitas upaya sosialisasi melalui dakwah di majelis-majelis taklim pun masih dianggap rendah. Isi dakwah tentang ekonomi Islam masih di bawah isi dakwah tentang akidah, akhlak, dan fiqih ibadah. Hal ini antara lain disebabkan karena para ulama atau ustadz sendiri belum mengerti tentang ilmu lembaga keuangan Syariah, sehingga wajar bila kemudian majelis taklim dan masjid masih sepi dari topik ekonomi Syariah. Malah masih terlalu banyak ulama dan ustadz yang berpandangan dangkal bahkan miring tentang lembaga keuangan Syariah. Seandainya para ulama dan ustadz ini telah dicerdaskan dengan ilmu muamalah yang ilmiah (’aqliyah) dalam bidang lembaga keuangan Syariah, niscaya market share lembaga keuangan Syariah akan mengalami perkembangan yang signifikan, sehingga tercipta customer yang rasional, bermoral dan loyal.
Upaya sosialisasi yang paling utama dalam mengembangkan lembaga keuangan Syariah adalah melaksanakan edukasi masyarakat tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan sistem lembaga keuangan Syariah. Sasaran edukasi itu sangat luas yang meliputi seluruh komponen masyarakat, seperti ulama, pemerintah, akademisi, pengusaha, ormas Islam dan masyarakat secara luas. Upaya ini membutuhkan kerja keras dari para aktivis dan ilmuan ekonomi Syariah. Hal ini dapat dilakukan secara terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para ekonom, alim ulama, pemuka masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum.
Selain melakukan sosialisasi melaui proses edukasi masyarakat, metode sosialisasi pun perlu direformulasi, misalnya dengan menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual. Pendekatan rasional adalah meliputi pelayanan yang memuaskan, tingkat bagi hasil dan margin yang bersaing, kemudahan akses dan fasilitas. Pendekatan moral adalah penjelasan rasional tentang dampak sistem ribawi bagi ekonomi negara, bangsa dan masyarakat secara agregat, bahkan ekonomi dunia. Maka secara moral, tanpa memandang agama, semua orang akan terpanggil untuk meninggalkan sistem riba. Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan spiritual adalah pendekatan emosional keagaaman karena sistem dan label syariah. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang taat menjalankan agama, atau masyarakat yang loyal kepada aplikasi Syariah. Upaya membangun pasar spiritual yang loyal masih perlu dilakukan, agar share-nya terus meningkat. Semakin gencar sosialisasi membangun pasar spiritual, maka semakin tumbuh dan meningkat asset bank-bank Syariah.
Metode yang selama ini digunakan, yaitu pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang), hanya akan menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Selama ini pendekatan sosialisasi belum utuh dan integratif, tetapi masih parsial dan tidak tuntas, sehingga keraguan ulama dan masyarakat tentang lembaga keuangan Syariah belum hilang. Hal ini berarti bahwa pendekatan sosialisasi yang ada selama ini belum mampu membuka cakrawala pemahaman ulama, akademisi dan tokoh agama tentang lembaga keuangan Syariah.
Jika para profesional lembaga keuangan Syariah, yang berasal dari pendidikan umum, memberikan sosialisasi kepada para ulama pesantren, maka ulama bisa saja menolak berdasarkan ilmu ushul fiqh atau disiplin ilmu Syariah lainnya. Para ulama menggangap bahwa para profesional itu tidak ahli dalam tafsir al-Quran, Hadits, ushul fiqh, dan sebagainya. Oleh karena itu, sosialisasi kepada ulama harus melalui pendekatan ilmu-ilmu Syariah dan ditambah dengan ilmu-ilmu moneter dan lembaga keuangan secara utuh. Demikian pula sebaliknya, jika ulama pesantren yang melakukan sosialisasi, juga tidak cukup karena pendekatannya sering dengan ideom halal dan haram, penggunaan dalil naqli yang kering dari teori-teori rasional dan ilmiah atau tidak ada informasi ilmiah yang dilekatkan kepada Syariah.
Sosialisasi lembaga keuangan Syariah tidak cukup dengan hanya menggunakan pendekatan religius normatif (emosional) atau karena lebel Syariah. Dewasa ini, sosialisasi lembaga keuangan Syariah perlu disajikan dalam paket materi yang berwawasan ilmiah, rasional dan obyektif. Oleh karena itu, gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang lembaga keuangan Syariah itu sangat dibutuhkan, yang tidak hanya mengandalkan kepatuhan dan loyalitas pada Syariah. Dalam edukasi, masyarakat betul-betul dicerdaskan dan diajak agar berpikir rasional, obyektif, dan berpikir untuk kepentingan jangka panjang.
Ada beberapa pihak yang perlu terlibat dalam upaya sosialisasi lembaga keuangan Syariah. Memang, selama ini peran sosialisasi seperti dibebankan kepada pihak lembaga keuangan Syariah; tetapi, ternyata hasilnya kurang efektif. Oleh karena itu, perlu keterlibatan pihak lain selain pihak lembaga keuangan Syariah. Pihak yang perlu terlibat tersebut antara lain ulama, tokoh umat Islam, dan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Salah satu pihak yang diharapkan maju dalam sosialisasi adalah ormas Islam, karena merupakan jalur dakwah yang sangat strategis.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sosialisasi lembaga keuangan Syariah di Indonesia masih dianggap kurang. Indikasinya bahwa masyarakat yang terlibat dalam lembaga keuangan Syariah masih sangat kurang. Metode yang perlu dilakukan dalam mensosialisasikan lembaga keuangan Syariah adalah metode edukasi, yakni dialog interaktif berkait dengan masalah lembaga keuangan Syariah. Sedangkan pihak-pihak yang perlu terlibat dalam sosialisasi lembaga keuangan Syariah, selain lembaga keuangan Syariah itu sendiri perlu juga ada keterlibatan dari ulama, tokoh masyarakat, dan ormas Islam.

E. Penutup
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa lembaga keuangan Syariah di Indonesia telah muncul dan sedang tumbuh dengan perkembangan yang cukup signifikan. Berbagai jenis lembaga keuangan Syariah telah didirikan, mulai dari perbankan Syariah, Baitul Mal wa Tamwil, Asuransi Syariah, Unit Simpan Pinjam Syariah, Reksadana Syariah, Induk Koperasi Pondok Pesantren, Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil, Pasar Modal Syariah sampai dengan Obligasi Syariah dan Sukuk. Dewasa ini, berbagai jenis lembaga keuangan Syariah tersebut telah menyebar di berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Walaupun demikian, perkembangan lembaga keuangan Syariah yang signifikan ternyata masih menyisakan masalah. Masalah yang paling krusial adalah masalah sosialisasi, di mana lembaga keuangan Syariah tersebut belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Sehubungan dengan itu, agar masalah ini dapat diantisipasi, maka perlu ada sinergi dari berbagai steakholders lembaga keuangan Syariah dalam upaya mensosialisasi lembaga keuangan Syariah tersebut. Upaya sosialisasi yang sudah dan tengah dilakukan perlu terus dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan. Namun, sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan, metode yang paling perlu dilakukan adalah metode edukasi, yakni dialog interaktif berkait dengan masalah lembaga keuangan Syariah.











DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hasan Ridwan (Ed). BMT dan Bank Islam: Instrumen Lembaga Keuangan Syari`ah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim, 2008.
Ahmed, Ziauddin, dkk. Money and Banking in Islam. Islamabad: Institute of Policy Studies, 1996
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Bank Indonesia. “Perbankan Syari’ah Nasional: Kebijakan dan Perkembangan”, www.bi.co.id, Oktober 2001.
Behrens, Robert H. Comercial Loan Officer`s Handbook: from Basic Concepts to Advanced Technique. Boston: Bankers Publishing Company, 1995.
Budi Wisakseno (2007). "Career Path, Prospecit & Development in Islamic Banking". Makalah. Dipresentasikan pada acara SEconD 2007, hlm. 7.
Chiu, Shirley, Robin Newberger, and Anna Paulson. “Islamic Finance in the United States,” Society, September/October 2005.
Chudhury, M. A. “Investment and Insurance in Islamic Perspective,” International Journal of Social Economics, 10 (1983), pp. 14-26.
Djazuli, A. dan Yadi Janwari. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Haron, Sudin. Islamic Banking, Selangor: Darul Ehsan, 2001.
Heri Sudarsono. Badan dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2008.
Kahf, Monzer. "Strategic Trends in the Islamic Banking and Finance Movement", Paper, dipresentasikan pada the Harvard Forum on Islamic Finance and Banking, Harvard University, Cambridge, Boston, 6-7 April 2002, hlm. 1.
Karsten, I. “Islam and Financial Intermediation”, IMF Staff Papers, March (1982), hlm. 108-148.
Kun Sri Budiasih, "Sosialisasi Bisnis Syariah, Jangan Ditunda-tunda", dalam Wan Andy, dkk. (Peny.). Prospek Bank Syariah Pasca Fatwa MUI. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005.
Purwanto Abdulcadir. "Prospek Takaful di Indonesia" dalam Ulumul Qur'an, Nomor 2/VII/1996, hlm. 29-30.
Suhaji Lestiadi, dkk.. Panduan Unit Simpan Pinjam Syariah. Jakarta: P2KER Departemen Koperasi dan PKM, 1999.
Thanthawî, Muhammad Sayyid al-. Mu`âmalât al-Bunûk wa Ahkâmuhâ al-Syar`iyyah. Kairo: Dâr al-Nahdhah, 1997.
Usmani, Muhammad Imran Ashraf. Meezanbank`s Guide to Islamic Banking. Karachi: Darul Ishaat, 2002.
Wouters, Paul. Islamic Banking in Turkey, Indonesia, and Pakistan. Istanbul: Bener Law Office, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar