Minggu, 07 Maret 2010

Implementasi Ekonomi Islam

IMPLEMENTASI EKONOMI ISLAM
DI NDONESIA

Oleh: YADI JANWARI

Pendahuluan
Diskusi tentang ekonomi Islam, khususnya di dunia Islam terus mengalami peningkatan. Apalagi saat ini, ekonomi Islam bukan lagi sebagai "barang baru", melainkan telah menjadi sesuatu yang sudah banyak dikenal di seluruh negara, termasuk di Indonesia. Kehadiran term ekonomi Islam ini tidak lagi merupakan sebuah momok yang menakutkan, tetapi justru menjadi angin segar, yang bisa membawa pencerahan bagi kesejahteraan umat manusia.
Inilah sebabnya, mengapa ekonomi Islam mendapatkan respon positip dari berbagai negara. Respon tersebut bukan hanya dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi juga muncul dari negara-negara yang diklaim sebagai negara skuler. Hal ini menjadi tanda bahwa ekonomi Islam sedang berada dalam posisi rahmah li al-`alamin.
Sehubungan dengan itu, Umer Chapra menyatakan bahwa Islam telah menawarkan sebuah sistem ekonomi. Islam menekankan agar menggunakan sumber daya yang diberikan Allah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia dan menyediakan mereka kondisi kehidupan yang layak. Sehubungan dengan itu, bahwa upaya implementasi ekonomi Islam hendaknya diwujudkan dalam bentuk merealisasikan ketentuan-ketentuan ekonomi yang berasal dari Allah sebagaimana termuat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
Namun demikian, eksistensi ekonomi Islam yang tampak dewasa ini masih saja dipandang belum maksimal. Oleh karena itu, masih dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk dapat lebih mengimplementasikan ekonomi Islam tersebut. Atas dasar inilah, maka makalah ini kemudian disusun, sebagai salah satu bentuk cetak biru atau "mimpi" penulis dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam ke depan, khususnya di Indonesia.
Untuk kepentingan itu, maka pada makalah ini akan menyajikan dua aspek utama, yaitu tentang tantangan dan peluang pengembangan ekonomi Islam dan inisiatif strategisnya. Namun, sebelum masuk pada dua pembahasan itu akan diawali terlebih dahulu dengan deskripsi tentang sejarah ekonomi Islam di Indonesia. Hal ini penting untuk disajikan agar dalam tulisan berikutnya memiliki kontinuitas yang paralel dan tidak parsial.

Sejarah Ekonomi Islam di Indonesia
Sulit memang untuk menentukan kapan ekonomi Islam itu mulai masuk dan kemudian tumbuh di Indonesia. Hal antara lain disebabkan karena tidak ditemukan data ril tentang kapan ekonomi Islam itu diim-plementasikan di Indonesia. Namun demikian, diasumsikan bahwa ekonomi berbasis Syari`ah itu telah lahir seiring dengan datangnya Islam ke Nusantara. Sebab, datangnya Islam ke Nusantara ini dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Arab, Persia, dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera; Sunda kelapa dan Gresik di Jawa.
Implementasi ajaran Islam tentang tijârah telah ditunjukkan oleh para pembawa Islam tersebut, yang kemudian berkelanjutan dilaksanakan oleh para pemeluk Islam berikutnya. Tidak sedikit mereka yang masuk Islam saat itu beralasan karena faktor ketertarikannya dalam hubungan ekonomi dengan umat Islam. Di beberapa wilayah, misalnya di Jawa, tidak sedikit para penguasa Jawa yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa masuk Islam disebabkan karena faktor hubungan ekonomi dengan para pedagang muslim.
Selain itu, dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara ini juga tercatat bahwa para pendakwah Islam itu umumnya para pelaku bisnis. Misalnya, K. H. Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) sebagai wadah untuk mengimplementasi ekonomi berbasis Syari`ah, K. H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) adalah seorang pedagang batik, dan K. H. A. Hasan (pendiri Persatuan Islam) juga adalah seorang pedagang di Singapura. Demikian pula pedagang-pedagang batik, perak, kretek dan tekstil dari Pekalongan, Tasikmalaya, Laweyan (Solo), Godean, Kotagede, Karangkajen, Kauman (Yogyakarta), Kudus, dan Gresik adalah pusat pengusaha muslim. Sehubungan dengan itu, Lance Castles menyimpulkan bahwa Islam mula-mula berkembang di antara golongan pedagang, dan kota-kota pantai utara Jawa yang di-Islamkan lebih dahulu.
Dengan demikian, kehadiran Islam ke Indonesia pada mulanya berba-rengan dengan pergerakan ekonomi. Oleh karena itu, substansi ekonomi Islam akan mendapatkan perhatian di awal perkembangan Islam ini. Kalau begitu, maka bisa dipahami bahwa benih-benih ekonomi Islam telah ada semenjak Islam masuk ke wilayah Indonesia.
Secara sosiologis, pranata ekonomi berdasarkan Islam telah direalisa-sikan oleh umat Islam sejak lama. Realisasi pranata ekonomi Islam dalam kehidupan umat Islam ini bisa jadi sebagai salah satu bentuk internalisasi ajaran Islam yang telah berlangsung sejak lama. Internalisasi ini juga merupakan proses penyerapan ajaran Islam yang telah didakwahkan oleh para penyebar Islam sebelumnya dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang telah dimaklumi dalam sejarah peradaban Islam bahwa Indonesia pernah dikuasai dan diperintah oleh beberapa kerajaan besar Islam, sehingga sedikit banyak berpengaruh pada pola perilaku masyarakat, termasuk di dalamnya penerapan pranata ekonomi.
Sebut saja misalnya pranata maro, nengah, atau mertelu adalah pranata ekonomi yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat tradisional dalam bidang pertanian atau peternakan. Baik merupakan hasil internalisasi ajaran Islam maupun secara kebetulan, pranata ini secara substantif selaras dengan salah satu akad dalam fiqh al-mu`âmalah, yakni akad muzâra`ah. Antara maro, nengah, atau mertelu dengan muzâra`ah memiliki banyak kesamaan dalam beberapa unsure, yakni ada pemilik tanah, pengelola tanah, tanah yang akan digarap, dan pembagian keuntungan. Hal yang sama juga terjadi dalam bidang peternakan; dan bahkan dalam bidang perdagangan (tijârah).
Selanjutnya, dalam sejarah hukum Islam di Indonesia ditemukan beberapa materi hukum yang secara substantif diambil dari hukum ekonomi Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil menggambarkan betapa hukum ekonomi Islam telah diadopsi ke dalam hukum nasional. Jika memakai teori Resepsi, maka dapat dipahami bahwa hukum ekonomi Islam itu telah diresepsi atau diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa transformasi hukum ke dalam dua undang-undang itu didasarkan pada hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, yang umumnya telah diwarnai oleh ajaran Islam.
Dengan dua ilustrasi di atas, secara sosiologis dan yuridis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pranata ekonomi Islam telah direalisir oleh masyarakat bangsa Indonesia sejak lama. Pranata ekonomi dan hukum ekonomi Islam itu hingga saat ini masih dilaksanakan oleh sebagian umat Islam. Bahkan, dalam bidang pertanian, penerapannya tidak hanya selaras dengan akad muzâra`ah, tetapi diterapkan pula beberapa akad lain, seperti musâqâh atau ijârah. Hal ini memberikan bukti bahwa pranata ekonomi Islam itu masih dirasakan kemanfaatannya bagi kehidupan masyarakat, terutama dalam mengatur prinsip operasional dan mekanisme ekonomi.
Secara parsial, perhatian umat Islam terhadap ekonomi Islam telah muncul jauh-jauh hari sebelumnya. Gagasan tentang ekonomi Islam telah muncul sejak awal abad ke-20 ketika Haji Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI). Pendirian SDI ini mengisaratkan keinginan umat Islam untuk merealisasikan ajaran ekonomi menurut Islam dan sekaligus menentang kebijakan ekonomi yang dikembangkan oleh kolonialisme Belanda dan kompetisi perdagangan Cina. Sistem ekonomi yang dikem-bangkan kolonialisme Belanda saat itu merepresentasikan sistem ekonomi Kapitalis, yang dalam banyak hal bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, pendirian SDI bisa diasumsikan sebagai bentuk implementasi ekonomi Islam, terutama dalam bidang tijârah.
Gerakan untuk mengimplementasikan ekonomi Islam ini kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yakni HOS Tjokroaminoto. Pada tahun 1924 HOS Tjokroaminoto menulis buku berjudul “Sosialisme Islam”. Buku ini merefleksikan tentang gagasan dan ide tentang sistem ekonomi Islam yang dihadapkan secara tajam dengan sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis. Selain itu, dengan gerakan ekonomi Serikat Dagang Islam/Serikat Islamnya, HOS Cokroaminoto juga memunculkan gagasan sekaligus juga aplikasi ekonomi yang berbasis Syari`ah. Gerakan ekono-minya ini, dalam sejarah, berupaya merekonstruksi sosial-ekonomi yang berkembang, yang bernuansakan eksploitasi dan monopolis yang kapitalistik.
Kemudian pada tahun 1950-an terbit buku “Bersamaisme” yang ditulis oleh Kaharrudin Yunus. Substansi buku ini, termasuk buku “Sosialisme Islam” karya HOS Cokroaminoto berupaya menjembatani polemik yang semakin tajam antara sistem ekonomi Kapitalis dengan sistem ekonomi Sosialis. Keduanya berupaya menawarkan ekonomi yang berbasis ajaran Islam sebagai alternatif. Namun, dalam perkembangannya kedua buku tersebut tidak mendapatkan respon yang positif dari umat Islam. Hal ini bisa jadi disebabkan karena konsentrasi umat Islam pada umumnya lebih diarahkan pada persoalan politik, sehingga aspek ekonomi terabaikan.
Sejak saat itu, gagasan tentang ekonomi Islam tidak populer di kalangan umat Islam. Padahal pada tahun 1950-an ini, menurut ahli ekonomi dan pemikir muslim, sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis tengah memasuki masa krisis; dan bahkan hampir mati. Teori-teori ekonomi konvensional telah dinyatakan mati karena beberapa alasan. Pertama, para-digma yang dipakainya tidak mengacu pada kepentingan masyarakat, sehingga ada dikotomi antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara. Kedua, teori ekonomi tidak mampu mengentaskan masalah kemis-kinan dan ketimpangan pendapatan. Ketiga, teori ekonomi tidak mampu menyelaraskan hubungan antara negara-negara di dunia, terutama antara negara maju dengan negara-negara berkembang dan terbelakang.
Walaupun gagasan ekonomi Islam secara komprehensif mengalami stagnan, namun kajian hukum ekonomi Islam secara aspektual terus berlangsung. Aspek hukum ekonomi Islam yang paling banyak dikaji saat ini adalah masalah ribâ’. Kajian tentang ribâ’ ini menjadi sangat menarik perhatian umat Islam ketika dihubungkan dengan masalah bunga bank. Untuk kepentingan ini, maka di kalangan umat Islam telah terjadi diskursus yang sangat panjang dan melelahkan, sekalipun hasilnya tidak dapat diwujudkan secara ril. Sebab, hasil diskusi itu tidak berimplikasi sosial ke dalam kehidupan umat Islam. Misalnya, diskusi itu menyimpulkan bahwa bunga bank itu sama dengan riba dan haram hukumnya, tetapi mayoritas umat Islam tetap saja berhubungan secara ekonomis dengan dunia perbankan.
Pada tahun 1968 Majelis Tarjih Muhammadiyah melakukan kajian men-dalam tentang riba dan bunga bank. Keputusan yang diambilnya menya-takan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, adalah termasuk syubhât, artinya belum jelas halal dan haramnya. Oleh karena itu, sesuai dengan petunjuk Hadits, maka umat Islam mesti berhati-hati dalam mengahadapi masalah yang bersifat syubhât tersebut. Sehubungan dengan itu, baru bisa diperbolehkan mempergunakan hal syubhât ketika keadaan sangat mendesak (hajjah).
Wacana tentang ekonomi Islam secara komprehensif muncul kembali pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1982 di Ujung Pandang diseleng-garakan sebuah pertemuan untuk menggagas kembali tentang ekonomi yang berbasis Syari`ah. Dalam pertemuan itu dilibatkan berbagai pakar, terutama pakar dalam bidang hukum Islam dan ilmu ekonomi. Sebagai hasilnya, dalam pertemuan itu umat Islam dapat menginventarisir berbagai potensi dalam upaya mengim-plementasikan ekonomi yang berbasis Syari`ah. Substansi ekonomi yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dielaborasi secara sistematis. Demikian pula dengan potensi umat yang bisa digali lebih jauh tidak luput dari kajian dalam pertemuan tersebut. Akhirnya, pertemuan ini merekomendasikan bahwa ekonomi berbasis Syari`ah sangat mungkin untuk diimplementasikan di Indonesia.
Pada tahun berikutnya, 1983, di Bandung pun diselenggarakan pula Seminar tentang Penelitian Sistem Ekonomi Islam. Dalam seminar ini tampaknya telah mampu merumuskan secara konseptual tentang sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam dibedakan secara tajam dengan sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis; bahkan, sistem ekonomi Islam bisa dijadikan sebagai alternatif bagi sistem ekonomi yang diproduk oleh pemikiran manusia. Selain itu, seminar ini pun telah mengelaborasi tentang potensi substantif dari Syari`ah yang bisa dikembangkan lebih lanjut dalam mengimplementasikan ekonomi yang berbasis Syari`ah. Materi yang paling dipandang penting dalam seminar ini adalah tentang konsep kepemilikan menurut sistem ekonomi Islam.
Setelah kajian ekonomi Islam di Ujung Pandang dan Bandung di atas, kajian ekonomi Islam sempat stagnan. Kalaupun muncul kajian, persoalan yang dibahas kembali lagi kepada persoalan klasik, seperti persoalan tentang hukum bunga bank. Misalnya, pada bulan Juni 1985 Majelis Pengkajian (Forum Studi) Majelis Ulama Tk I Sumatera Utara dan Yayasan Baitul Makmur Medan menyelenggarakan pengkajian tentang bank dan lembaga keuangan non-bank. Kajian itu kemudian menyimpulkan bahwa (1) perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non-bank adalah satu sub sistem dari sistem ekonomi dewasa ini yang sulit dapat dihindarkan; (2) riba yang sifatnya adh`afâ mudhâ`fah (berlipat ganda) adalah hukumnya haram, sesuai dengan nash yang shahih dari al-Qur’an dan al-Sunnah; dan (3) bunga bank adalah masalah yang masih berbeda pendapat para ulama; pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut: mengharamkan bunga bank karena menganggapnya sama dengan riba; membolehkan bunga bank karena menganggapnya tidak sama dengan riba, yang diharamkan oleh syari`at Islam; dan bunga bank adalah haram, tetapi karena belum ada jalan keluar untuk menghindarkannya, maka dibolehkan (karena dianggap darurat).
Wacana ekonomi Islam muncul kembali pada awal tahun 1990-an seiring dengan motivasi yang kuat umat Islam untuk mendirikan bank yang berbasis Syari`ah. Pada dekade ini, diskursus tentang ekonomi Islam dan upaya mengimplementasikannya mulai tampak. Memang, diskursus dan upaya implementasi ekonomi Syari`ah pada saat itu lebih difokuskan pada aspek Perbankan Syari`ah. Hal ini disebabkan karena persoalan perbankan Syari`ah tengah menjadi focus of interest dunia Islam, termasuk Indonesia. Walaupun demikian, Islamic economic content tetap menjadi bahasan; sebab, bagaimanapun perbankan Syari`ah merupakan bagian dari ekonomi Syari`ah secara integral.
Diskursus tentang bank Syari`ah ini diawali oleh lokakarya yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 19-22 Agustus 1990. Keputusan lokakarya tersebut dalam Bab II tentang Status Hukum Bungan Bank antara lain menyebutkan bahwa dengan melihat kenyataan hidup yang ada dan untuk menghindari kesulitan (masyaqah) karena sebagian umat Islam terlibat dengan sistem bunga bank, maka dapat dimungkinkan ditempuhnya rukhshah (penyimpangan) dari ketentuan baku, sepanjang demi kelanjutan pembangunan nasional. Ataupun secara khusus untuk mempertahankan kehidupan pribadi pada tingkat kecukupan (kifayah).
Hasil lokarkarya itu kemudian dibahas kembali secara mendalam dalam Munas V Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1990. Di akhir Munas itu, MUI merekomendasikan untuk segera mendirikan Bank Syari`ah di Indonesia. Rekomendasi MUI ini kemudian mendapatkan respon positif dari Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Kemudian MUI dan ICMI membentuk tim gabungan untuk mendirikan Bank Syari`ah. Hasilnya, pada tanggal 1 Nopember 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Pendirian BMI oleh MUI dan ICMI ini, dalam sejarah perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, merupakan langkah awal yang strategis bagi perkembangan institusi ekonomi Islam berikutnya. Sebab, sejak saat itu diskursus dan kajian tentang ekonomi Islam, terutama aspek lembaga keuangan Syari`ah, semakin semarak dan bergairah di berbagai kalangan umat Islam.

Tantangan Pengembangan Ekonomi Islam di Indonesia
Dalam upaya mengimplemetasikan sistem ekonomi Islam di Indonesia, bagaimanapun, akan dihadapkan pada berbagai tantangan. Bila dielaborasi, maka tantangan tersebut dapat di pilah kepada beberapa bentuk tantangan, yaitu:
1. Kondisi Politik
Tantangan kondisi politik berkait dengan kewenangan eksekutif dan legislatif dalam aspek kebijakan dan regulasi ekonomi; sebab, bagai-manapun, implementasi ekonomi Islam di Indonesia akan berkait dengan masalah kebijakan dan regulasi, sementara kebijakan dan regulasi sangat membutuhkan kedua institusi tersebut.
Menurut Umer Chapra, pada umumnya kondisi politik yang terjadi di negara-negara Muslim dewasa ini tidak cukup kondusif dan bahkan menjadi tembok penghalang bagi realisasi ekonomi Islam. Keadaan seperti ini tampaknya terjadi pula di Indonesia yang mayoritas penduduknya bera-gama Islam. Hal ini muncul, barangkali salah satu penyebabnya, karena para politisi yang tampil ke pentas politik lebih didominasi oleh para "nasionalis" atau "abangan" yang tidak memiliki concern terhadap pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia.
Sehubungan dengan itu, maka reformasi politik di negara-negara Muslim ini perlu untuk segera dilakukan. Pada gilirannya keadaan politik ini lebih berpihak pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Islam. Perubahan iklim politik ekonomi ini hendaknya dilakukan secara gradual atau bahkan kultural. Atau, menurut istilah Umer Chapra, reformasi politik ini hendaknya dilakukan secara damai dan mengedepankan Islam sebagai rahmah lil `alamin.
2. Kondisi Sosiologis
Tantangan kondisi sosiologis ini berkait erat dengan kesiapan masya-rakat dalam menerima ekonomi Islam untuk diimplementasikan. Hal ini muncul disebabkan karena sudah berabad-abad lamanya masyarakat Indonesia telah terbiasa dengan perilaku ekonomi konvensional. Bahkan, tidak sedikit umat Islam yang sangat memuja sistem ekonomi yang tumbuh dan berkembang di Barat. De-Islamisasi yang telah berlangsung berabad-abad ini ternyata telah menyebabkan kerangka pemikiran umat Islam menjadi stagnan dan apriori terhadap konsepsi ekonomi Islam. Atas dasar itulah, maka menurut Umer Chapra, tugas ilmu ekonomi Islam itu lebih luas dan jauh lebih sulit daripada ilmu ekonomi konvensional.
Kedaan seperti ini kemudian berimplikasi pada lemahnya pengetahuan dan pemahaman umat Islam akan ekonomi Islam. Bagaimana mungkin umat Islam itu dapat merealisasikan ekonomi Islam, bila pengetahuan dan pemahaman tentang hal itu juga masih lemah. Oleh karena itu, lemahnya pengetahuan dan pemahaman umat Islam tentang ekonomi Islam menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia.
3. Kondisi Ekonomi Masyarakat
Selain itu, tantangan lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperha-tikan adalah menurunnya tingkat ekonomi masyarakat Indonesia. Menurut Karnaen A. Perwataatmadja, keadaan seperti ini merupakan implikasi dari upaya sistematis penjajah Belanda untuk menterbelakangkan bangsa Indonesia. Dari mulai keterbatasan menuntut ilmu sampai pada pember-lakuan hukum secara diskriminatif telah menjadikan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia terbelakang dan dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Tampaknya setelah krisis moneter 1998 sampai saat ini perekonomian Indonesia belum juga menunjukkan kemajuan yang signifikan. Bahkan, angka kemiskinan semakin hari semakin meningkat, yang secara ekonomis tidak memungkinkan untuk melakukan investasi.
Selaras dengan itu, saat ini ekonomi umat Islam lebih banyak dio-rientasikan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif, sehingga sulit untuk dialokasikan untuk investasi. Padahal, sebagaimana dimaklumi bahwa dewasa ini, implementasi ekonomi Islam di Indonesia banyak berbentuk lembaga keuangan Syari`ah. Sementara pertumbuhan dan perkembangan lembaga keuangan Syari`ah, antara lain, sangat bergantung pada partisipasi masyarakat, terutama dalam menginvestasikan dananya. Kalau ternyata, kemampuan masyarakat untuk berinvestasi itu lemah, maka akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan lembaga-lembaga keuangan Syari`ah tersebut.

Inisiatif Strategis
1. Penguatan Sistem Ekonomi Islam
Gagasan tentag penguatan sistem ekonomi Islam ini tampaknya perlu dipertegas kembali. Hal ini mengingat, banyak kalangan yang meragukan keberadaan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem ekonomi. Dengan alasan, sebuah sistem ekonomi selain kuat dalam aspek konsep juga mesti tampak implementasinya dalam masyarakat luas. Menurut Mian M. Nazeer, sistem ekonomi merupakan sebuah refleksi tentang "bagaimana" dan "mengapa" fokus perjuangan manusia, dan ia berada dalam resolusi dan regulasi pertanyaan "bagaimana" dan "mengapa" tersebut, yang merupakan salah satu yang membedakan sebuah sistem ekonomi dari sistem ekonomi yang lain.
Secara bahasa, sistem berarti suatu keseluruhan yang kompleks: suatu susunan hal atau bagian yang saling berhubungan. Dengan kata lain, sistem berarti sebuah totalitas terpadu yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, saling terkait, saling mempengaruhi, dan saling tergantung menuju tujuan bersama tertentu. Dengan pengertian sistem ini, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan sistem ekonomi adalah susunan organisasi ekonomi yang mantap dan teratur. Dari pengertian ini pula, maka dapat dipahami bahwa ajaran Islam tentang ekonomi dapat dinyatakan sebagai sebuah sistem ekonomi. Hal ini disebabkan karena ajaran Islam tentang ekonomi adalah ajaran yang bersifat integral, yang tidak terpisahkan baik dengan ajaran Islam secara keseluruhan maupun dengan realitas kehidupan.
Selain itu, unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah sistem ekonomi telah terpenuhi oleh ajaran Islam. Unsur-unsur tersebut adalah: (1) sumber-sumber ekonomi atau faktor-faktor produksi yang terdapat dalam perekonomian tersebut; (2) motivasi dan perilaku pengambil keputusan atau pemain dalam sistem itu; (3) proses pengambilan keputusan; dan (4) lembaga-lembaga yang terdapat di dalamnya. Sebagai sebuah sistem ekonomi, maka yang membedakan antara sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi lain terletak pada dua aspek penting, yakni pemilikan atas faktor-faktor produksi dan metode alokasi faktor-faktor produksi terbut.
Dalam konteks tema yang diusung dalam makalah ini, maka upaya yang harus dilakukan dalam mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia adalah memperkuat secara teoritis tentang pemaknaan sistem ekonomi Islam itu sendiri. Di samping itu, juga perlu ada penguatan secara deskriptif tentang unsur-unsur yang mesti ada dalam sebuah sistem ekonomi dalam perspektif Islam. Menurut Monzer Kahf, untuk mengimplementasikan sistem ekonomi Islam, semua organ yang mendukung sturuktur sosial-politik perlu bekerja sama untuk meraih tujuan yang sama. Dengan begitu, maka pada gilirannya ekonomi Islam akan diakui dunia sebagai sebuah sistem ekonomi.
2. Penguatan Ilmu Ekonomi Islam
Inisiatif strategis ini sangat penting mengingat saat ini masih banyak kalangan yang meragukan eksistensi ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu. Keraguan ini, tentu saja, akan berimplikasi pada perkembangan ekonomi Islam itu sendiri. Ketika ekonomi Islam bisa dipandang sebagai sebuah ilmu, maka ia akan mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Sebab, salah satu indikator ilmu adalah berkembang.
Ekonomi Islam itu sendiri sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah ilmu karena ia merupakan pengetahuan yang telah disusun secara siste-matis. Selain itu, ekonomi Islam juga telah memenuhi unsur-unsur sebuah ilmu. Dalam perspektif filsafat ilmu, sebuah disiplin ilmu itu mesti memenuhi tiga unsur, yaitu ontologi (tentang apa?), epistimologi (tentang bagaimana?), dan aksiologi (tentang untuk apa?). Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu itu terdiri atas tiga unsur, yaitu unsur substansi, unsur informasi, dan unsur metodologi. Unsur substansi dikenal dengan subyek (material dan formal) atau subject matter suatu disiplin ilmu. Sedangkan unsur informasi merupakan isi tuturan pemahaman dan penjelasan yang bersifat abstrak tentang unsur substansi itu, baik yang dapat diamati (observable) dan diukur (measurrable) maupun yang tidak dapat diamati dan diukur. Semantara itu, unsur metodologi merupakan cara kerja yang "mengotak-ngatik" unsur substansi dan unsur informasi dengan menggunakan cara berpikir dan cara kerja tertentu, yang secara umum dikenal sebagai metode ilmiah.
Menurut Masudul Alam Choudhury, ontologi dan epistimologi ekonomi Islam didasarkan pada worldview yang berbeda. Ia merupakan doktrin yang revolusioner, yang sulit dikatagorikan kepada ilmu pengetahuan yang normal. Ia berbeda dan keluar dari garis normal berpikir. Berkait dengan masalah ini, Kuhn menulis, revolusi ilmiah di sini diambil untuk menjadi-kannya peristiwa perkembangan yang bukan kumulatif di mana sebuah paradigma yang lebih tua digantikan secara utuh atau pada sebagiannya oleh hal baru yang bertentangan.
Untuk unsur ontologi tampaknya telah dapat dipenuhi oleh ekonomi Islam mengingat materi ekonomi Islam telah banyak dibicarakan dan bahkan dituangkan dalam berbagai tulisan. Bahkan, belakangan materi ekonomi Islam ini telah ditulis secara sistematis, yang kadang-kadang sistematika pembahasan disesuaikan dengan sistematika pembahasan ekonomi konven-sional, yang terlebih dahulu mengalami perkembangan.
Persoalan ekonomi Islam, dalam perspektif filsafat ilmu, ini muncul pada saat mengidentifikasi unsur epistimologi atau metodologi. Persoalan ini mengemuka ketika menjawab pertanyaan: apakah ekonomi Islam telah memiliki metodologi yang mandiri? atau ekonomi Islam itu hanya sekedar mengadopsi metodologi yang dimiliki oleh ilmu ekonomi konvensional?
Berkait dengan metodologi ilmu ekonomi Islam, perlu diperjelas dahulu bahwa ilmu ekonomi Islam itu bisa diposisikan sebagai ilmu ekonomi normatif dan ilmu ekonomi positif. Ilmu normatif berarti bahwa ilmu ekonomi Islam mempersoalkan tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu, sedangkan ilmu positif berarti ilmu ekonomi Islam juga mempersoalkan tentang masalah ekonomi yang muncul dalam kehidupan masyarakat (Islam). Sehubungan dengan itu, maka metodologi yang dapat dikembang-kan dalam ilmu ekonomi Islam itu adalah metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif digunakan dalam ilmu ekonomi Islam normatif, sedangkan metode induktif digunakan dalam ilmu ekonomi Islam positif. Metode deduktif berarti bagaimana menurunkan nilai dan norma ekonomi yang termaktub dalam al-Qur'ân dan al-Sunnah dalam tatanan ekonomi umat, sedangkan metode induktif berarti membuat generalisasi kegiatan ekonomi umat yang kemudian dihubungan dengan al-Qur'ân dan al-Sunnah.
Dengan demikian, dalam pengembangan ekonomi Islam sebagai ilmu dapat digunakan dua metode, yaitu metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif digunakan untuk memahami substansi ekonomi yang tertuang dalam al-Qur'an, al-Sunnah, dan pendapat para fuqaha. Sedangkan metode induktif digunakan untuk membuat generalisasi dari berbagai peristiwa ekonomi yang terjadi di kalangan umat Islam. Metode kedua ini, dewasa ini, sangat mungkin dilakukan mengingat umat Islam telah mulai merealisir nilai dan norma ekonomi Islam, seperti perbankan, asuransi, serta lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi Islam lainnya.
Dalam unsur aksiologis, munculnya ekonomi Islam sebenarnya merupakan tuntutan yang logis. Demikian pula secara estetik, ekonomi Islam dapat menciptakan kehidupan yang harmonis, selaras, dan seimbang. Dalam kerangka yang sangat luas, ekonomi Islam dapat menjadi tuntutan etis untuk memperkecil ketidakadilan dan memperbesar kemakmuran bersama.
Secara logika, ekonomi Islam dapat menjadi ekonomi alternatif pada dikotomi antara ekonomi Kapitalis dan ekonomi Sosialis, yang pada saat bersamaan mulai dikritisi kelemahannya. Sedangkan secara estetik, ekonomi Islam telah melahirkan kekuatan ekonomi yang dapat menjaga keseim-bangan dan keselarasan sosial dalam harmoni kehidupan, pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan tidak merusak tatanan dan harmoni kehidupan semesta. Adapun secara etis, ekonomi Islam dibangun di atas landasan maqâshid al-syarî`ah, yakni hifzh al-dîn, hifzh al-nafs, hifzh al-nashl, hifzh al-`aql, dan hifzh al-mâl.
Dari uraian ini, maka dapat disimpulkan dalam upaya mengim-plementasikan sistem ekonomi Islam ke depan perlu dilakukan penguatan terhadap disiplin ilmu ekonomi Islam itu sendiri. Hal ini penting dilakukan, selain untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ekonomi Islam itu dapat dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu, juga merupakan salah satu variabel yang menentukan dalam mengimplementasikan sistem ekonomi Islam ke depan.
3. Akselerasi Sosialisasi Ekonomi Islam
Sosialisasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penyebarluasan ekonomi Islam – baik sebagai pengetahuan maupun sebagai sistem – kepada masyarakat luas, khususnya umat Islam. Strategi ini perlu dilakukan mengingat inti dari implementasi ekonomi Islam adalah bagaimana masyarakat bisa memahami dan merealisasikan ekonomi Islam itu. Tanpa pemahaman dan realisasi ini, maka ekonomi Islam menjadi "menara gading", yang membumbung di langit tanpa menapakan kakinya di bumi.
Hingga saat ini, memang, upaya sosialisasi ekonomi Islam sudah dan sedang dijalankan. Namun masalahnya, akselerasi dari sosialisasi itu masih dipandang kurang dan lambat. Indikatornya bahwa masih banyak masyarakat Islam yang belum paham dengan makna dan hakikat ekonomi Islam itu sendiri. Dalam konteks perbankan Syari`ah misalnya, tidak jarang muncul asumsi bahwa bank Syari`ah itu tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, atau muncul statemen bahwa kredit di bank Syari`ah jauh lebih memberatkan jika dibandingkan dengan kredit di bank Konvensional. Asumsi dan statemen ini merupakan indikator bahwa masyarakat Islam belum memahami betul tentang ekonomi Islam.
Lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan Syari`ah di Indonesia sudah sangat banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai tempat. Bahkan dewasa ini, hampir di setiap kecamatan telah ada Bank Perkreditan Rakyat Syari`ah (BPRS). Umat Islam tidak akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan lembaga ekonomi atau keuangan Syari`ah. Tetapi pertanyaannya adalah, mengapa partisipasi umat Islam terhadap lembaga ekonomi dan keuangan Syari`ah itu masih kurang? Maka jawabannya, sudah hampir bisa dipastikan karena umat Islam tidak paham dengan lembaga ekonomi atau keuangan Syari`ah itu.
Dari fenomena sosiologis seperti itu, maka upaya sosialisasi tentang ekonomi Islam ini perlu digalakan lagi dan lebih dipercepat. Ia mesti dilaksanakan secara integral dan komprehensif. Berbagai komponen umat Islam perlu mengambil peran aktif dalam sosialisasi ekonomi Islam, mulai dari cendekiawan, ulama, ustadz, mubaligh, bahkan eksekutif dan legis-latif. Ekspresi dan kegiatan yang mengeksplor ekonomi Islam menjadi sangat penting untuk digebyarkan. Bila ini semua telah dilakukan, maka pada gilirannya ekonomi Islam tidak lagi asing di telinga umat Islam, yang akhirnya mau mengimplementasikannya dalam perilaku ekonominya.
4. Perwujudan dalam Perilaku Ekonomi
Perilaku ekonomi (economic behavior) pada hakikatnya berkait dengan preferensi manusia dalam berpikir dan bertindak. Sedangkan preferensi manusia itu sendiri sangat bergantung nilai-nilai yang diyakininya, baik secara internal maupun secara eksternal. Sehubungan dengan itu, maka bentuk implementasi ekonomi Islam dalam perilaku ekonomi adalah bagaimana umat Islam menjadikan ekonomi Islam sebagai rujukan dalam berperilaku ekonominya. Bahkan bukan sekedar itu, ekonomi Islam juga menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan aktifitas dan sistem pere-konomian.
Secara sosiologis, bagaimana ekonomi Islam terinternalisasi dalam kehidupan umat Islam. Nilai dan prinsip yang termuat dalam ekonomi Islam mengikat secara ketat dalam perilaku ekonomi umat Islam. Dengan kata lain, nilai dan prinsip ekonomi Islam itu dapat mewarnai secara dominan dalam perilaku manusia pada semua jenis kegiatan ekonomi, seperti perilaku konsumsi, produksi, distribusi, dan kegiatan investasi lainnya.
Ketika ekonomi Islam telah terinternalisasi dalam perilaku ekonomi, maka implementasi ekonomi Islam akan menjadi sebuah kesadaran komunal. Dalam tataran aplikasinya, ia tidak perlu lagi ada tekanan atau paksaan dari pihak manapun. Implementasi ekonomi Islam akan muncul dengan sendirinya. Bila ini terjadi, maka sikap abivalen yang selama ini muncul di kalangan umat Islam akan lenyap dengan sendirinya.
5. Reformasi Politik
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kondisi poltik negara-negara Muslim tidak kondusif bagi pengembangan ekonomi Islam, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, upaya yang mesti dilakukan adalah reformasi politik yang dapat melahirkan keadaan politik yang kondusif bagi imple-mentasi ekonomi Islam. Dalam konteks ini, reformasi politik hendaknya diorientasi untuk menciptakan peran pemerintah sebagai mitra, katalisator, dan fasilitaor dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam sebagai bagian integral dari ajaran Islam.
Untuk masalah hubungan antara negara dan implementasi Islam ini, ada beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh ulama dan cendekiawan Muslim. al-Mawardi menekankan bahwa pemerintahan yang efektif mutlak diperlukan untuk mencegah kezhaliman dan ketidakadilan. Oleh karena itu, negara harus tetap melanjutkan misi Rasulallah Saw, baik urusan duania maupun akhirat. Selaras dengan ini, Ibn Taymiyah menyatakan bahwa Islam dan negara itu berhubungan erat dan masing-masing tidak dapat melakukan perannya secara efektif tanpa bantuan lainnya.
Sehubungan dengan itu, maka reformasi politik di Indonesia perlu dilakukan, sehingga kondisi politik – terutama peran eksekutif dan legislatif, lebih peduli pada pengembangan dan implementasi ekonomi Islam. Paling tidak, bagaimana eksekutif dan legislatif itu memiliki concern untuk mentransformasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip ekonomi Islam ke dalam ekonomi Indonesia.
Selain insiatif strategis di atas, dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia ini perlu dilakukan langkah-langkah praktis. Sehubungan dengan itu, maka dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia perlu dilakukan langkah-langkah praktis sebagai berikut: (1) mendirikan berbagai pusat studi ekonomi Islam; (2) mendirikan asosiasi atau organisasi ekonomi Muslim; (3) Menerbitkan julnal ilmiah ekonomi Islam; (4) memanfaatkan media masa sebagai lahan untuk mensosialisasikan ekonomi Islam; (5) merumuskan metodologi penelitian ekonomi Islam; (6) membuka program studi ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi; dan (7) penyelenggaraan forum ilmiah dan berbagai pelatihan ekonomi Islam.

Penutup
Dari uraian yang telah dideskripsikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi ekonomi Islam di Indonesia secara substantif telah muncul sejak Islam masuk ke Nusantara. Internalisasi dan institusionalisasi ekonomi Islam ini semakin tampak pada awal abad ke-20 sebagai bentuk perlawanan atas kebijakan politik ekonomi Belanda dan kompetisi perda-gangan orang Cina. Implementasi ekonomi Islam ini semakin berwujud pada tahun 1990-an, sekalipun lebih diarahkan pada pembentukan lembaga-lembaga keuangan Syari`ah.
Dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia akan berhadapan dengan beberapa tantangan, di antaranya adalah lemahnya kondusifitas politik, lemahnya pengetahuan dan pemahaman umat Islam tentang ekonomi Islam, serta kondisi ekonomi masyarakat Indonesia semakin terpuruk dan tak kunjung membaik. Selain itu, dalam upaya mengimplementasikan ekonomi Islam di Indonesia ini perlu dirumuskan inisiatif strategis sebagai berikut: penguatan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem ekonomi dan sebagai ilmu ekonomi, akselerasi sosialisasi ekonomi Islam, upaya perwujudan ekonomi Islam dalam perilaku ekonomi masyarakat, serta melakukan reformasi politik ekonomi di Indonesia.
Wallahu A`lam.


DAFTAR PUSTAKA


Ali Sakti. 2007. Analisis Teoritis Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern. Jakarta: Paradigma & AQSA-Publishing.
Badri Yatim. 1997. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Logos.
Castles, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan.
Chapra, M. Umer. 1997. Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil. Terjemahan oleh Lukman Hakim. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
----------. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam. Terjemehan oleh Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Gema Insani Press.
Choudhury, Mausudul Alam. 1986. "The Micro-Economic Foundations of Islamic Economics: A Study in Social Economics" in The American Journal of Islamic Social Scoence (AJISS), 2/1986.
----------. 2005. "Islamic Economics and Finance: Where Do They Stand?", dalam International Conference on Islamic Economics and Finance. Islamic Economics and Banking in The 21st Century. Jakarta: International Conference on Islamic Economics and Finance.
Dawam Rahardjo, M. 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Jujun S. Soeriasoemantri. 1985. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Kahf, Monzer. 1995. Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Machnun Husein. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
----------. 2005. "Islamic Economics System – A Review" in Syed Omar Syed Agil and Aidit Ghazali (Ed.). Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics. Kuala Lumpur: CERT Publications.
Karnaen A. Perwataatmadja. 1996. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. Depok: Usaha Kami.
Kuhn, T. S. 1970. The Structure of Scientific Revolution. Chicago, IL: University of Chicago.
Lapidus, Ira M. 1988. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press.
Lubis, Ibrahim. 1995. Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Jakarta: Kalam Mulia.
Mannan, M. A. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi islam. Terjemahan oleh M. Nastangin. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Mawardi, Ali bin Muhammad al-. t.t. al-Ahkam al-Sulthaniyah. Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi.
Mohammad Daud Ali. 1988. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: UI Press.
Muhammad Azhar. 2000. "Beberapa Peluang Pengembangan Ekonomi Islam" dalam Amien Abdullah, dkk. Meretas Jalan Baru Ekonomi Muhammadiyah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Nazeer, Mian M. 1980. "The Framework of an Islamic Economic System", in M. Nawaz Khan (Ed.). Economic System of Islam. Karachi: National Bank of Pakistan.
Tanjung, Hendri. 2005. "Akselerasi Sosialisasi Bisnis Syari`ah" dalam Wan Andy, dkk (Peny.). Prospek Bank Syari`ah Pasca Fatwa MUI. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Taufiq Abdullah (Ed.). 1991. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar